

Di dunia yang serba bisa dibeli, ada satu hal yang ternyata masih berada di luar jangkauan kekuasaan manusia: izin dari langit.
Adalah haji furoda—jalur eksklusif yang hanya bisa diakses oleh mereka yang tak ingin menunggu puluhan tahun dalam antrean reguler. Tiket ini bukanlah sembarang tiket; ia adalah jalan pintas menuju Tanah Suci, ditawarkan dengan fasilitas kelas atas dan harga yang fantastis—mulai dari Rp 373,9 juta hingga menyentuh hampir satu miliar rupiah. Tapi tahun ini, semua itu tak ada artinya. Karena gerbang langit menutup dirinya, tanpa aba-aba, tanpa alasan.
Bayangkan, Rp 975,3 juta. Jumlah yang bisa dikonversi menjadi rumah di pinggiran ibu kota, satu unit mobil mewah, atau bahkan menyekolahkan anak hingga ke Eropa sambil liburan ke Swiss. Tapi bagi sebagian calon jemaah furoda, angka itu tahun ini hanya menjadi tiket menuju harapan yang tak pernah jadi kenyataan.
Jalur Elit yang Tersandung Takdir
Haji furoda adalah jalur istimewa—undangan dari Kerajaan Arab Saudi, terpisah dari kuota reguler dan haji plus. Ia diciptakan untuk mereka yang tak ingin berdesakan dalam antrean panjang, yang lebih percaya pada kecepatan layanan dan kelengkapan rekening. Jalur ini menjanjikan segalanya: hotel dekat Masjidil Haram, makanan terbaik, fasilitas premium, dan tentu saja—gengsi spiritual tersendiri.
Namun ketika visa tak kunjung terbit, semuanya berubah menjadi kisah pilu dalam koper mahal. Muhammad Firman Taufik, Ketua Umum Himpuh, menyebut bahwa tahun ini biaya haji furoda berkisar hingga hampir satu miliar rupiah. Tapi bahkan dengan biaya setinggi itu, perjalanan suci mereka tak pernah dimulai.
Arab Saudi menutup penerbitan visa furoda secara mendadak. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Para jemaah yang sudah siap berangkat pun hanya bisa gigit jari. Beberapa bahkan sudah dalam proses, namun akhirnya digugurkan—seolah-olah nama mereka dihapus begitu saja dari daftar tamu langit.
Sebuah Tamparan untuk Dunia
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), Hilman Latief, mencatat dari 203.320 kuota haji reguler, hanya 203.279 visa yang benar-benar terbit. Sisanya menghilang, ditelan sistem. Menteri Agama Nasaruddin Umar pun menyebut bahwa fenomena ini tak hanya terjadi di Indonesia—banyak negara mengalami hal serupa. Ini bukan sekadar kekeliruan administratif, melainkan seperti badai spiritual global: semua jemaah kaya, dari berbagai belahan dunia, serempak ditolak.
Dan Tuhan, dalam keadilannya, tak memandang jumlah digit dalam rekening. Langit yang tertutup ini menjadi pengingat bahwa ibadah tak bisa dibeli. Bahwa surga tidak menawarkan tiket VIP, dan Ka’bah tidak bisa disewa atas nama eksklusivitas.
Mimpi yang Gagal Menginjak Tanah Haram
Koper premium. Baju ihram impor. Tiket pesawat bisnis class. Semua itu tak pernah menyentuh debu Arafah. Sebaliknya, para jemaah furoda pulang dengan hati berat. Tak membawa air zamzam, melainkan beban batin dan kecewa mendalam.
Ironisnya, di sisi lain, seorang penjual es tebu bernama Pak Dullah di ujung kampung justru berangkat haji. Setelah 17 tahun menabung, ia mendapat kuota reguler. Tak ada koper Samsonite. Hanya sandal jepit, doa dari istri, dan air mata restu dari sang ibu.
Karena Visa Langit Tak Bisa Dicetak
Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa ibadah haji bukan semata urusan logistik dan keuangan. Ia adalah panggilan. Sebuah undangan dari langit yang tak bisa diakali atau dibayar. Bukan karena saldo besar, bukan karena nama di daftar elit. Tapi karena izin dari-Nya semata.
Haji furoda tahun ini tidak hanya gagal berangkat. Ia gagal membuktikan bahwa uang bisa menembus batas spiritual. Gagal memahami bahwa ibadah bukan proyek pribadi yang bisa ditargetkan. Karena pada akhirnya, Tuhan tidak bisa disuap. Dan visa langit, sayangnya, tidak bisa dicetak dari mesin ATM.
—000—
*Jurnalis senior, tinggal di Surabaya
Tinggalkan Balasan