
Surabaya (Trigger.id) – Film terbaru berjudul Warfare, hasil kolaborasi antara sutradara visioner Alex Garland (Civil War, Ex Machina) dan mantan anggota Navy SEAL, Ray Mendoza, hadir dengan pendekatan yang tak biasa dan sangat realistis dalam menggambarkan Perang Irak. Dibuka dengan sentuhan humor melalui video musik “Call on Me” karya Eric Prydz, penonton awalnya diajak tertawa bersama para tentara muda yang sedang bersantai di barak dekat Baghdad. Namun, tawa itu tak bertahan lama. Dentuman berikutnya yang terdengar bukan lagi dari musik, melainkan dari medan pertempuran yang nyata.
Film ini didasarkan pada pengalaman pribadi Mendoza dan unitnya saat menjalankan misi pengintaian di Ramadi pada tahun 2006. Misi tersebut berubah menjadi mimpi buruk ketika tempat persembunyian mereka diserang, memaksa tim untuk bertahan hidup tanpa dukungan yang biasa mereka andalkan.
Dengan durasi yang padat, hanya 95 menit, Warfare menampilkan jajaran aktor muda Hollywood seperti Charles Melton, Will Poulter, Joseph Quinn, Kit Connor, Noah Centineo, dan D’Pharaoh Woon-A-Tai yang memerankan tokoh Mendoza. Namun, film ini tidak memberikan ruang bagi heroisme Hollywood. Para tokoh digambarkan sebagai bagian dari tim yang solid—terampil, kompak, dan fokus pada kerja sama, bukan keberanian individu.
Garland dan Mendoza mengembangkan naskah dengan mengandalkan wawancara dari anggota tim asli. Proses penyusunannya layaknya investigasi forensik, mencocokkan fragmen ingatan dari berbagai sudut agar menghasilkan narasi yang setia pada kenyataan. Mereka sepakat dengan satu prinsip dasar: hanya memasukkan apa yang benar-benar terjadi.
Alih-alih menjelaskan secara berlebihan, Warfare membawa penonton masuk ke dunia militer yang penuh jargon, terkadang membingungkan, tapi juga manusiawi. Salah satu contoh dialog lucu namun autentik muncul saat seorang prajurit bertanya dengan serius, “Dia ngintip atau nyelidik?”
Bagi Mendoza, film ini adalah bentuk koreksi terhadap banyak film perang yang terasa jauh dari kenyataan. “Banyak film perang yang dibuat oleh orang-orang yang tidak pernah mengalami perang itu sendiri,” katanya. Ia menyayangkan penggambaran yang kerap salah mengenai budaya militer, cara tentara mengatasi stres, bahkan cara mereka berbicara.
Demi menghadirkan pengalaman yang seautentik mungkin, Mendoza mengadakan pelatihan ala bootcamp selama tiga minggu bagi para aktor. Mereka dilatih menggunakan senjata, komunikasi radio, manuver taktis, hingga pertolongan pertama di medan perang. Proses ini tidak hanya memberi mereka keterampilan teknis, tetapi juga menciptakan ikatan emosional yang kuat.
“Rasanya seperti keluarga,” ujar Melton. “Kami bersama dari pagi sampai malam. Tak ada waktu untuk sekadar duduk di trailer.”
Uniknya, film ini berani mengambil pendekatan yang berbeda dari film perang konvensional. Ia memperlihatkan jeda waktu yang membosankan dan sunyi sebelum akhirnya terjun ke dalam kekacauan pertempuran. “Dalam kenyataan, banyak waktu yang dihabiskan dalam kebosanan, sebelum akhirnya tiba-tiba semuanya berubah menjadi sangat berbahaya,” kata Joseph Quinn.
Berbeda dari film-film perang legendaris seperti Saving Private Ryan atau Black Hawk Down, Warfare tidak berfokus pada misi heroik yang luar biasa. Justru, ia menggambarkan tragedi yang biasa terjadi di medan perang—pengalaman yang umum namun jarang diceritakan secara jujur.
Meski adegan kekerasannya tidak berlarut-larut, dampak emosional dan psikologis dari kekerasan tersebut diperlihatkan dengan sangat dekat dan mendalam. “Kami tidak pernah merasa sendirian saat syuting adegan-adegan tergelap itu,” ujar Quinn. “Ada sesuatu yang indah muncul dari konteks yang sangat kelam.”
Dengan kejujuran brutal dan ketulusan emosional, Warfare bukan sekadar film perang—ia adalah kesaksian dari mereka yang pernah hidup dalam konflik, dan kini menceritakannya tanpa embel-embel glamor Hollywood. (bin)
Tinggalkan Balasan