

Rak-rak baju yang sesak dan gantungan baju yang nyaris patah bukan lagi gambaran kemewahan atau prestise. Sebaliknya, itu menjadi cermin betapa kita kerap kalah dalam menahan diri dari dorongan konsumtif, terutama dalam hal fashion. Banyak dari kita membeli pakaian bukan karena kebutuhan, tetapi karena keinginan sesaat yang dipicu oleh tren yang terus berubah — cepat dan tak kenal ampun, bahkan melebihi pergantian musim.
Tren fashion saat ini bergerak dalam sirkulasi yang sangat cepat. Apa yang dianggap “kekinian” hari ini, bisa jadi esok telah menjadi “basi”. Inilah yang disebut sebagai fast fashion, di mana industri busana secara agresif mengganti koleksinya dalam hitungan minggu demi memicu belanja impulsif. Sayangnya, sebagian besar konsumen terjebak dalam ilusi urgensi ini, merasa harus memiliki koleksi terbaru agar tidak tertinggal zaman atau terlihat ‘ketinggalan tren’ di media sosial.
Menurut Dr. Arief Budiman, pakar sosiologi dan budaya dari Universitas Indonesia, fenomena ini mencerminkan bagaimana identitas diri semakin dibentuk oleh konsumsi simbolik. “Manusia modern kini semakin menjadikan barang — dalam hal ini pakaian — sebagai penanda status sosial dan eksistensi diri. Mereka merasa keberadaannya lebih nyata jika bisa dikenali lewat brand atau tren yang diikuti,” ungkapnya.
Hal senada disampaikan oleh Dr. Ratna Permata Sari, antropolog budaya dari UGM, yang menyebutkan bahwa budaya belanja fashion saat ini erat kaitannya dengan dorongan untuk tampil dan mendapat validasi sosial. “Kita hidup di era visual, di mana penampilan menjadi kunci eksistensi. Budaya ‘upload’ di media sosial mendorong orang untuk terus memperbarui penampilan agar tetap relevan. Ini menyebabkan siklus konsumerisme yang tak pernah selesai.”
Ironisnya, di tengah lemari yang penuh, banyak dari pakaian itu hanya dikenakan satu-dua kali — bahkan ada yang belum pernah dipakai sama sekali. Sementara di sisi lain, tak sedikit masyarakat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan pakaian dasar. Ini menunjukkan betapa timpangnya prioritas kita sebagai konsumen modern.
Karena pada akhirnya, hidup yang bermakna bukan diukur dari banyaknya pakaian yang dimiliki, melainkan dari seberapa bijak kita mengelola keinginan — dan bagaimana kita bertanggung jawab terhadap jejak yang kita tinggalkan bagi bumi.
Jika kita terus abai terhadap dorongan membeli busana tanpa pertimbangan kebutuhan dan enggan mengambil tanggung jawab terhadap dampaknya, maka tumpukan sampah ekologis akan terus membebani bumi. Limbah tekstil bukan sekadar soal barang tak terpakai, tetapi soal beban lingkungan yang kian mengkhawatirkan — mulai dari pencemaran air hingga emisi karbon yang memperparah krisis iklim.
Maka, perubahan harus dimulai dari kesadaran diri. Kita tak perlu terus menjadi bagian dari budaya konsumtif yang hanya melahirkan limbah. Sebaliknya, kita bisa memilih untuk menjadi bagian dari solusi — dengan berbelanja secara bijak, mendukung upcycle, serta menghargai nilai pakai sebuah pakaian. Karena bumi tak butuh lemari penuh, melainkan manusia yang peduli.
Meski tantangannya besar, bukan berarti tidak ada harapan. Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan adalah memperkuat sistem daur ulang tekstil. Data dari WRAP UK (2021) menunjukkan bahwa mendaur ulang satu ton limbah tekstil dapat menghemat sekitar 20 ton emisi karbon dioksida dan hingga 3.000 liter air yang biasanya dibutuhkan dalam produksi kain baru. Angka ini menunjukkan bahwa pendekatan berkelanjutan bisa berdampak besar, tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga dalam membentuk pola konsumsi baru.
Di Indonesia, gerakan ke arah ini mulai bermunculan. Di Bandung misalnya, kota yang dikenal sebagai pusat industri fashion, lahir berbagai komunitas kreatif yang mengusung semangat keberlanjutan. Komunitas seperti Rebirth by Olin dan Bandung Textile Upcycle Movement berhasil menunjukkan bahwa limbah tekstil pun bisa disulap menjadi barang bernilai guna seperti tas, dompet, bahkan dekorasi rumah. Inisiatif-inisiatif ini membuktikan bahwa daur ulang bukan sekadar wacana, tapi solusi nyata yang bisa menginspirasi perubahan gaya hidup masyarakat.
Kita perlu bertanya kembali: apakah kita membeli karena butuh, atau sekadar takut tertinggal tren? Sudah saatnya kita mengedepankan prinsip kesadaran dalam berbelanja, bukan sekadar mengikuti arus. Fashion seharusnya menjadi ekspresi, bukan obsesi. Karena pada akhirnya, hidup yang bermakna bukan diukur dari banyaknya pakaian yang dimiliki, melainkan dari seberapa bijak kita mengelola keinginan — dan bagaimana kita bertanggung jawab terhadap jejak yang kita tinggalkan bagi bumi.
—000—
*Pemimpin Redaksi Trigger.id
Tinggalkan Balasan