
“Setidaknya saat ini ada sekitar seratus-an institusi pendidikan yang meminta rekomendasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk mendirikan Fakultas Kedokteran (FK).”
Oleh: dr. Ari Baskoro, Sp.PD, K-AI. (Konsultan Alergi-Imunologi Klinik / Anggota IDI Cab. Surabaya)

Belakangan ini banyak berita seputar perekrutan dokter, sebagai calon tenaga dosen di beberapa perguruan tinggi (PT). Melalui media sosial dan media-media lainnya, banyak berseliweran tawaran tersebut. Bukan hanya perguruan tinggi swasta (PTS), perguruan tinggi negeri berstatus PTN-BH pun ikut meramaikannya. Sebagai Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH), memang mempunyaihak otonom. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.58 tahun 2013, bisa secara mandiri mengelola rumah tangganya sendiri, sesuai dengan tujuan kampus tersebut. PP ini memberi keleluasaan bagi kampus, untukbisa membuka Program Studi (Prodi) baru. Sebaliknya dapat menutupnya kembali, ketika dianggap tidak lagi diperlukan. Begitu juga dalam urusan kepegawaian dan keuangan, kampus PTN-BH berhak mengaturnya sendiri.
Setidaknya saat ini ada sekitar seratus-an institusi pendidikan yang meminta rekomendasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), untuk mendirikan Fakultas Kedokteran (FK). Sebanyak sepuluh kampus sudah mendapatkan rekomendasi Kemenkes. PT peminat pembentukan Prodi pendidikan dokter, ternyata mempunyai ruang lingkup yang beragam. Beberapa kampus tersebut, berlatar belakang pengampu Prodi yang selama ini tidak terkait dengan masalah kedokteran/kesehatan. Malah sudah sangat dikenal malang melintang di bidang disiplin pendidikan ilmu lainnya. Bagi lingkungan kampus, khususnya bidang kedokteran atau kesehatan, hal itu bukanlah sesuatu yang aneh. Namun tidak sedikit masyarakat umum yang bertanya-tanya, ada apa di balik semua fenomena itu ? Beberapa perspektif menjadi latar belakangnya.
Calon mahasiswa
Pilihan unggulan calon mahasiswa baru (Camaba), terutama masih ditujukan pada jurusan kedokteran.Kecenderungan itu mengacu pada data Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), beberapa tahun terakhir ini. FK merupakan pilihan favorit rumpun sains dan teknologi (saintek), di kampus-kampus negeri ternama di tanah air.
Opsi padaProdi primadona tersebut, selaras dengan riset Indeks Kepercayaan Global 2021. Penelitiannya dilakukan oleh lembaga riset Ipsos. Menurut survei, dokter menjadi sosok yang mendapat kepercayaan tertinggi di masyarakat. Angkanya mencapai 54 persen. Peringkat berikutnya jatuh pada ilmuwan. Angkanya sebesar 51 persen.Masih ada beberapa profesi lainnya yang disurvei oleh lembaga riset tersebut.
Kebutuhan dokter
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, bahwa rasio yang ideal adalah satu orang dokter untuk seribu penduduk. Untuk melayani 270 juta penduduk Indonesia, seyogianya diperlukan sebanyak 270 ribu dokter umum. Menurut data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), negara kita memiliki 170 ribu dokter umum. Tetapi jumlah yang terdaftar di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) untuk mengurus surat tanda registrasi (STR), hanya 140 ribu. Sisanya sebesar 30 ribu, masih terkendala berbagai persyaratan untuk mendapatkan STR. STR merupakan syarat penting bagi seorang dokter mendapatkan surat izin praktik (SIP), guna menjalankan profesinya.Dari angka-angka ini, setidaknya negara kita masih kekurangan sekitar 100-130 ribu dokter umum.
Moratorium FK
Saat ini Indonesia masih memberlakukan moratorium izin pendirian FK. Kebijakan itu berdasarkan surat edaran Menteri Riset, Teknologi,dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) tanggal 14 Juni 2016. Moratorium diberlakukan setelah hasil evaluasi penyelenggaraan Prodi pendidikan dokter, menunjukkan hasil yang mengecewakan. Saat itu terdapat 83 FK di Indonesia. Sebanyak 17 FK menyandang akreditasi A, 29 FK berakreditasi B, dan sisanya 37 FK (45 persen) hanya berakreditasi C. Kegagalan memenuhi standar akreditasi, karena minimnya persiapan dalam pengembangan FK itu sendiri. Pembelajaran yang dinilai belum optimal, berdampak pada kualitas lulusannya yang masih di bawah standar. Salah satu indikator yang digunakan adalah Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Misalnya ada FK swasta yang hanya mampu meloloskan 18 persen lulusannya pada UKMPPD. Pembinaan akan dilakukan secara berkala terhadap FK yang bermasalah, bila kelulusan UKMPPD masih di bawah 60 persen. Sarjana Kedokteran yang tidak lulus UKMPPD, belum berhak menerima ijazah dokternya.
Saat ini, dari 92 kampus FK yang ada di Indonesia, setiap tahunnya dapat meluluskan 11 ribu mahasiswa. Sebanyak tiga ribu di antaranya, belum lulus UKMPPD. Ujian kompetensi dilakukan, setelah mahasiswa FK menyelesaikan studi teori dan praktiknya. Bila belum lulus UKMPPD, dengan sendirinya tidak akan mendapatkan SIP.Mereka yang belum lulus (disebut retaker) bisa mengulang ujian kompetensi. Pada beberapa kasus, bisa mengulang hingga berkali-kali sampai dinyatakan lulus.
FK yang bermasalah, antara lain karena tidak terpenuhinya tenaga dosen. Rasio antara dosen dan mahasiswa, masih jauh dari seharusnya. Pernah ada mahasiswa yang terlantar tidak bisa mengikuti perkuliahan, karena tidak ada dosennya. Untuk “penyelamatan” saat itu, terpaksa mendatangkan “dosen terbang” dari daerah lain. Beberapa FK ada yang terkendala sarana dan prasarana perkuliahan.Termasuk di antaranya tidak memiliki laboratorium dan rumah sakit pendidikan.
Belajar dari kegagalan pencapaian mutu lulusan pada masa lalu, sekala prioritas pembenahan saat ini mestinya adalah peningkatan akreditasi FK. Jaminan kualitas, seyogianya dimulai dari persoalan hulu (pembukaan FK) hingga ke hilir (lulusan FK) secara konsisten.
Finansial kampus
Status PTN-BH mempunyai arti, bahwa pemerintah akan mengurangi dana subsidi PTN. Konsekuensinya dapat mempunyai keleluasaan dalam mencari dana tambahan dari berbagai pihak. Anggaran ini diperlukan untuk menjalankan aktivitas kampus, khususnya pembangunan infrastruktur dan keperluan operasional lainnya. Prinsipnya, PTN-BH diperkenankan mendapatkan dana dari masyarakat. Pengelolaannya harus dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas.
Beban biaya kuliah, khususnya pada Prodi pendidikan dokter, menjadi salah satu imbasnya. Walaupun biaya tersebut sering kali berkorelasi dengan kualitas kampus, namun tidak sedikit masyarakat yang menilai kaum ekonomi lemah akan sulit mendapatkan akses masuk FK. Sudah menjadi pemahaman masyarakat, pada jalur tertentu camaba FK , memerlukan dana besar. Bahkan hingga ratusan juta rupiah.
Distribusi dokter
Terkait target kuantitas dokter, seharusnya secara seimbang disertai peningkatan kualitasnya. Kendala lainnya adalah pemerataan dokter di seluruh tanah air. Masih banyak terjadi maldistribusi. Di satu sisi jumlahnya bisa melimpah di kota-kota besar.Namun sebaliknya sangat minim pada daerah tertentu. Gangguan keamanan suatu wilayah atau insentif dari pemerintah setempat yang kurang menarik, bisa menjadi latar belakangnya.Rancangan Undang-undang (RUU) Pendidikan Kedokteran, nantinya akan mengatur pemerataan distribusi lulusan kedokteran
Bila kebijakan moratorium dicabut, pembukaan Prodi pendidikan dokter memang sah-sah saja. Bisa menumbuhkan lapangan pekerjaan baru bagi calon tenaga kerja, asal memenuhi standar kualifikasi yang telah ditentukan. Bagi camaba semakin banyak mempunyai alternatif pilihan PT, bila akan melanjutkan studinya pada jurusan kedokteran. Namun di sisi lain, jangan sampai terjadi “industrialisasi dokter” dan mengabaikan mutu. Standar kualitas lulusan yang tidak terpenuhi, berpotensi menimbulkan rendahnya jaminan keselamatan pasien dan kepercayaan masyarakat. Malpraktek dan problem medikolegal bisa menjadi taruhannya.
Tinggalkan Balasan