

Di tengah padatnya jadwal ibadah dan lautan manusia di Tanah Suci, ada satu nama yang kerap menjadi bahan obrolan ringan namun penuh antusiasme di kalangan jamaah haji dan umrah asal Indonesia: Albaik. Bukan sekadar restoran cepat saji biasa, Albaik telah menjelma menjadi ikon kuliner yang dinanti-nanti, bahkan sebelum kaki para jamaah menjejakkan tanah Arab Saudi.
Albaik memang sejenis fast food, serupa dengan McDonald’s atau KFC. Namun, jangan samakan rasanya begitu saja. Cita rasa ayam goreng khas Albaik berbeda—berbalut bumbu rempah khas Timur Tengah yang kuat namun tetap akrab di lidah orang Indonesia. Bagi jamaah yang pernah mencicipinya, sensasi gurih dan pedas ayam Albaik seperti mengikat memori spiritual mereka dengan kelezatan yang tak bisa dilupakan. Tak heran jika banyak jamaah menjadikannya sebagai ritual kuliner wajib usai ibadah.

Seorang jamaah pernah bercerita, usai menjalani rangkaian ibadah umrah pra-haji yang padat hingga pukul 10 malam waktu Arab Saudi, seluruh anggota rombongan yang berjumlah 12 orang sepakat tanpa debat: “Kita cari ayam Albaik, yuk.” Kalimat itu terlontar dengan semangat seperti menemukan oase setelah kehausan. Gerai yang mereka tuju berada di kawasan Aziziah, sebuah restoran dua lantai yang dikenal strategis dan ramai.
Keramaian sudah tampak sejak dari luar. Lantai satu dan dua penuh sesak. Mereka bukan hanya orang Indonesia, tapi wajah-wajah dari berbagai penjuru dunia. Para pelanggan Albaik malam itu berasal dari beragam ras dan latar belakang, mencerminkan bagaimana satu menu sederhana bisa menyatukan dunia. Terlebih saat itu malam Jumat, yang bagi penduduk Makkah ibarat malam Minggu di belahan dunia lain—saat yang tepat untuk bersantai dan menikmati hidangan favorit bersama keluarga atau teman.
Popularitas Albaik memang bukan sekadar tren sesaat. Di kota-kota suci seperti Mekah dan Madinah, gerai Albaik—termasuk cabang populernya seperti di Jabal Omar dan sekitar Masjidil Haram—tak pernah sepi antrean. Meskipun menunya tergolong standar ala fast food: ayam goreng, burger, dan kentang goreng, namun rasa yang ditawarkan mampu bersaing dengan merek-merek global. Bahkan, banyak yang memberi nilai 85 hingga 95 dari skala 100—satu nilai yang cukup menggambarkan kelezatan dan kepuasan yang diberikan oleh menu khas Timur Tengah ini.
Bagi sebagian jamaah, Albaik bukan sekadar tempat makan. Ia menjadi penanda momen—tentang kebersamaan, kenangan spiritual, dan sejumput kelezatan yang membekas di tengah perjalanan suci. Dan bagi mereka yang pernah mencicipi, satu hal yang pasti: pulang ke tanah air tanpa Albaik, rasanya ada yang kurang.
—000—
*Pemimpin Redaksi Trigger.id
‘
Tinggalkan Balasan