
Oleh : Ari Baskoro*
Indonesia digadang-gadang akan menyongsong bonus demografi. Puncaknya akan terjadi tahun 2030, bahkan hingga tahun 2035. Di saat menjelang Pemilu 2024, isu bonus demografi semakin mengemuka dan menjadi perhatian penting. Banyak ahli berpendapat, bonus demografi akan mendatangkan berkah. Itu merupakan suatu “peluang emas” bagi suatu negara, dalam meningkatkan status sosial dan ekonomi masyarakatnya.Tetapi apabila gagal memanfaatkannya, peluang itu tidak hanya sirna, tetapi sebaliknyajustru berpotensi menjadi beban negara. Pasalnya dalam sejarah peradaban suatu bangsa, bonus demografi hanya akan dialami satu kali kesempatan saja.
Bonus demografi merujuk pada suatu makna, yaitu ketika jumlah masyarakat usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak bila dibandingkan dengan nonproduktif. Sebelum usia 15 tahun dan setelah 64 tahun, dikategorikan dalam fase nonproduktif. Penduduk Indonesia hingga Juni 2022, mencapai 275,36 juta jiwa. Sebanyak 69,3 persen dari jumlah tersebut, tergolong dalam usia produktif. Sisanya sebesar 30,7 persen penduduk, termasuk dalam kategori nonproduktif.
Sebagai bahan komparasi, kita perlu berkaca pada capaian Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan Tiongkok. Ketiga negara Asia itu, disebut-sebut telah sukses membawa negaranya memanfaatkan peluang emas bonus demografi. Tiongkok mampu menaikkan pendapatan per kapitanya hingga 16 kali lipat, saat periode tersebut berlangsung sejak 1997 sampai 2021. Di sisi lain , Korsel mengawali bonus demografi pada tahun 1987. Hanya dalam tempo sembilan tahun, Negeri Ginseng itu mampu meningkatkan statusnya sebagai negara berpendapatan tinggi. Kenaikan pendapatan per kapitanya saat itu, telah berlipat hingga 3,8 kali.
Tidak semua negara mengalami cerita sukses bonus demografi. Afrika Selatan dan Brasil, merupakan contoh negara yang gagal memanfaatkan peluang emas tersebut.Kedua negara itu,dinilai tidak mampu mencetak sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, saat memasuki usia produktif. Dampaknya justru memunculkan resesi ekonomi. Untuk pencapaian SDM yang berkualitas dalam menghadapi tantangan bonus demografi,diperlukan persiapan yang matang. Kendala yang layak diperhitungkan, antara lain adalah faktor kesehatan pada masyarakat usia produktif. Persoalan anemia dan stunting (tengkes), diprediksi masih akan menjadi sekala prioritas pengelolaan utama.
Anemia
Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai di seluruh dunia. Terutama terjadi di negara-negara berkembang. Persoalan kesehatan masyarakat yang dominan tersebut, bisa memicu timbulnya chronicdebility. Dampaknya dapat mengganggu tercapainya kesejahteraan sosial, kesehatan fisik dan ekonomi. Meski prevalensinya tergolong tinggi, sering kali anemia tidak mendapatkan perhatian ataupun penanganan yang serius. Khususnya yang berkategori anemia ringan.
Secara fungsional anemia merujuk pada suatu makna terjadinya penurunan jumlah massa eritrosit (sel darah merah). Akibatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh membawa pasokan oksigen ke seluruh jaringan yang memerlukannya. Termasuk pada jaringan otak yang bertindak layaknya komputer dalam mengatur kecerdasan seseorang. Kecerdasan yang optimal akan mampu menuju pada cara berpikir, bertindak dan menyelesaikan suatu tugas/pekerjaan sesuai target/harapan.
Anemia bisa merupakan salah satu dari gejala berbagai macam penyakit, sebagai latar belakang penyebabnya.Anemia akibat defisiensi zat besi (ADB), merupakan penyebab utamanya. Zat besi merupakan bahan baku utama produksi eritrosit. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018, sebanyak 32 persen remaja di Indonesia mengalami anemia. Masa remaja merupakan salah satu periode terjadinya percepatan pertumbuhan dan perkembangan organ-organ tubuh. Dampak buruk anemia gizi tersebut, mengakibatkan gangguan pada tercapainya fungsi kognitif yang optimal, serta konsentrasi belajar. Mereka juga menjadi lebih rentan terhadap paparan penyakit infeksi, karena dampak imunitasnya yang tertekan. Khususnya pada remaja putri yang mengalami kehamilan, risiko melahirkan bayi prematur atau bayi dengan berat badan lahir rendah, akan semakin meningkat pula. Masa depan bayi-bayi tersebut dihadapkan pada risiko stunting yang akan berdampak besar terhadap kemampuan kognitifnya.
Stunting
Upaya penurunan angka stunting, masih akan menjadi isu kesehatan utama di tanah air.Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),stuntingadalah gangguan tumbuh kembang akibat gizi buruk, infeksi berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Secara praktisnya, kondisi memprihatinkan tersebut ditandai dengan tinggi badan di bawah standar anak-anak seusianya. Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), prevalensi stunting di Indonesia sebesar 21,6 persen pada tahun 2022. Angka ini masih di atas standar WHO yang mematok angka kurang dari 20 persen. Di kawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting negara kita menduduki peringkat kedua terburuk, di bawah Timor Leste.
Terjadinya stunting sejatinya diawali oleh seorang anak sejak dalam kandungan. Meski demikian, manifestasi klinisnya baru terlihat jelas, ketika mereka berusia sekitar dua tahun. Fenomena tersebut, banyak berkaitan dengan kemiskinan, kondisi lingkungan yang tidak sehat, serta malnutrisi pada ibu. Faktor pendidikan dan pengetahuan seorang ibu terhadap cara-cara pemberian makanan dan perawatan bayi, juga sangat memengaruhi.
Seribu hari pertama kehidupan , merupakan “waktu emas” bagi perkembangan yang sangat cepat dari sel-sel otak. Bila periode penting ini tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, dapat menimbulkan akibat negatif yang sifatnya permanen pada tumbuh kembang seorang balita. Selain rendahnya kapasitas kognitif, anak-anak ini nantinya berpotensi menimbulkan beban sosial dan ekonomi bagi keluarganya. Mereka berisiko mengalami gangguan aktivitas dalam pembelajaran di sekolahnya. Hal itu akan berdampak buruk pada kapasitasnya bersaing dalam mencapai produktivitasnya dalam dunia kerja. Dari sisi kesehatan, mereka nantinya juga lebih berisiko mengalami paparan berbagai macam penyakit dan terjadinya kematian dini. Contohnya adalah akibat hipertensi, penyakit kardiovaskuler, sindrom metabolik, dan stroke. Dalam beberapa riset, terhambatnya pertumbuhan ini nantinya dapat diwariskan ke generasi berikutnya. Fenomena inilah yang dikenal sebagai “siklus malnutrisi antar generasi”.
Pada level kehidupan sosial-ekonomi di masyarakat, individu yang mengalami stunting sering kali tidak mampu berkontribusi secara maksimal. Oleh karena itu, masalah stunting dapat menghambat pembangunan ekonomi dan produktivitas. Menurut Bank Dunia (2016), diperkirakan kerugian ekonominya bisa mencapai hingga tiga persen produk domestik bruto (PDB)suatu negara. Bila dinominalkan, potensi kerugiannya di negara kita, dapat mencapai 260 hingga 390 triliun rupiah per tahun.
Bonus demografi ibarat pedang bermata dua. Bila potensinya dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara tepat, akan dapat membawa pada kemakmuran. Tetapi sebaliknya bila gagal, justru dapat memantik beban kerugian bagi pembangunan ekonomi-sosial masyarakat dan negara.
—–o—–
*Penulis :
- Staf pengajar senior di: Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Penulis buku: Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri) dan Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan