

“Gantung saya di Monas, jika terlibat korupsi”! Pernyataan seorang politikus beberapa tahun silam, masih dikenang publik. Meski akhirnya terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, Monas “batal” jadi saksi bisu palu putusan hakim. Setelah bebas dari menjalani hukuman penjara, pernyataannya itu “dianulirnya” sendiri. Bukan dirinyalah yang harus digantung, tetapi harapannya.
Retorika kebohongan oknum politikus masih terus terjadi. “Dicari! Menteri super yang siap dihukum mati, jika korupsi”. Meski pernyataan itu sudah cukup lama dilontarkannya (Desember 2020), publik tetap tidak melupakannya. Pakta integritas yang diusulkannya, kini sedang diuji penerapannya. Namun “anehnya” setelah terjaring OTT KPK, pernyataannya itu dikoreksinya sendiri dengan cara meminta amnesti dan “menangis”.
Ada contoh lainnya. Seorang oknum politikus harus berkilah dengan “nyeri dada”, agar terhindar dari jerat hukum. Meski kasusnya telah berkekuatan hukum tetap, berbagai cara dan argumentasi dilakukannya demi terlepas dari eksekusi pidana.
Bohong
Sejatinya kebohongan bersifat universal. Bukan hanya bagian integral dari kehidupan seorang politikus semata, melainkan dimiliki setiap insan manusia. Menarik sekali apa yang dikatakan oleh Bill Aldair dalam bukunya “Beyond the Big Lie”. Bagi seorang politikus, kebohongan adalah suatu “kalkulasi politik”. Maknanya, perbuatan itu dilakukan setelah melalui suatu “pertimbangan”, antara sisi keuntungan dan potensi kerugiannya. Kalkulasinya berkorelasi dengan pemikiran memperoleh dukungan, upaya menyenangkan, dan perhatian dari basis konstituennya. Keputusan berbohong yang “menguntungkan”, juga harus mendapat “dukungan” dari elite partai. Demikian pula kalkulasinya terhadap sudut pandang media massa. Tujuannya agar dapat mengimbangi konsekuensi negatif dari suatu berita kebohongan. Bill Aldair adalah seorang jurnalis, pendiri PoliticFact, dan pemenang penghargaan Pulitzer atas karya jurnalistiknya.
Potret buram kebohongan politikus, tidak hanya menjadi bahan kajian Aldair. Ipsos Global Trustworthiness Index, suatu lembaga riset pasar dan konsultasi global, juga tertarik untuk menganalisisnya. Berdasarkan survei lembaga yang berbasis di Paris-Perancis pada tahun 2024 itu, politikus menjadi profesi yang paling tidak dipercaya publik Indonesia. Peringkatnya berada di urutan pertama, dengan raihan 45 persen. Peringkat berikutnya ditempati oleh polisi dan anggota kabinet. Masing-masing meraih proporsi sebesar 41 persen. Sebaliknya profesi yang paling dipercaya , masing-masing diduduki oleh guru (74 persen), dokter (73 persen), dan peneliti (70 persen).
Aspek medis
Pada dasarnya kebohongan telah “menyatu” dalam kehidupan manusia. Tidak semua kebohongan berkonotasi buruk. Berbagai alasan membuat seseorang “terpaksa harus” berbohong. Bisa jadi sifatnya masih dapat ditoleransi. Dalam istilah psikologi disebut “kebohongan putih”. Misalnya dilakukan demi menghindari masalah, atau agar tidak menyakiti perasaan orang lain. Fenomena unik dan kompleks kebohongan, dapat diamati pada semua budaya. Tidak ada segmen usia tertentu yang bebas dari kebohongan.
Meski demikian, mayoritas orang bisa dikatakan jarang berbuat bohong. Wajar bila kebanyakan orang masih sangat menghargai kejujuran. Telah dibuktikan melalui riset, kejujuran akan membawa kepercayaan. Jujur dan kepercayaan, merupakan modal penting bagi seseorang dalam membangun modal sosial.
Berbagai riset medis berupaya mengungkap kebohongan dan kejujuran secara ilmiah. Bagian otak yang disebut korteks prefrontal dan amigdala, bertindak membentuk keseimbangan layaknya “Yin” dan “Yang”. Area prefrontal berperan merencanakan dan mengendalikan perilaku bohong. Sebaliknya amigdala memicu rasa takut dan cemas, bila seseorang berbohong. Namun tindakan bohong yang berulang dan dianggap biasa, dapat menumpulkan respons amigdala. Akibatnya membuat tindakan bohong lebih “efisien” dilakukan, sehingga memantik risiko perilaku abnormal/patologis. Kondisi itulah yang disinyalir banyak terjadi pada politikus. Sudah sangat dipahami publik, bahwa seorang politikus “boleh” berbohong, tapi jangan sampai melakukan blunder politik. Maknanya diharamkan “keseleo bicara”. Tetapi masyarakat juga paham betul, bahwa sebenarnya mereka sedang berbohong melalui pernyataan-pernyataannya.
Konon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah melakukan sebanyak 30.573 kebohongan selama masa empat tahun (2017-2021) periode pertama jabatannya. Jumlah tersebut identik dengan 21 klaim yang tidak benar dalam satu hari (Glenn Kessler, dkk, Washington Post 2021). Menurut para peneliti, kebohongannya dimanfaatkan untuk membangun suatu keyakinan palsu. Muaranya bertujuan memperoleh dukungan/simpati publik.
Manifestasi fisiologi bohong bisa diamati. Misalnya terdeteksi dalam bentuk peningkatan detak jantung dan laju pernapasan yang berat. Bisa juga terjadi kesulitan berbicara, berkeringat lebih banyak, hingga perubahan-perubahan lainnya, termasuk aliran/tekanan darah. Meski tidak memiliki tingkat kebenaran seratus persen, alat deteksi kebohongan (lie detector) dapat mengendus parameter tersebut.
Humor kebohongan politik
Kata-kata bijak yang dilontarkan Nikita Kruschev , seorang politikus Rusia sungguh fenomenal. “Politisi itu semuanya sama. Mereka berjanji membangun jembatan, meski sebenarnya tidak ada sungai di sana”. Ada “humor politik” lain yang lebih menggelikan. “Sebelum pemilu, politikus menjanjikan surga kepada anda. Tetapi setelah pemilu, mereka memberikan neraka kepada anda”. Jika publik menagih realisasi janji, mereka dengan cerdas telah menyiapkan janji berikutnya.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan