Surabaya (Trigger.id) – Indonesia menghadapi banyak tantangan untuk membangun sistem pengelolaan limbah elektronik yang tepat. Menjawab permasalahan tersebut, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) bersama Science and Technology Innovation Center for Circular Economy and Green Innovative Resource (STIC-CEGIR) membahas sistem pengelolaan limbah elektronik.
Mengutip akun ITS.co.id, pakar Limbah Padat dan B3 ITS, Prof Dr Dra Yulinah Trihadiningrum MAppSc menyebutkan bahwa fasilitas pengumpulan limbah elektronik di Indonesia masih sangat minim. Hal tersebut membuat masyarakat dan pelaku industri menimbun limbah elektronik dalam waktu lama.
Dosen Departemen Teknik Lingkungan ITS ini menyayangkan soal penanganan limbah elektronik masyarakat yang sering kali tercampur dengan limbah padat domestik lain. Kini, ia mengimbuhkan, pemulihan dan daur ulang material limbah elektronik masih bergantung pada pendaur ulang ilegal. “Selain tingkat daur ulang yang tidak diketahui, dampak bagi lingkungan dan kesehatan juga tidak terkendali,” ujarnya.
Pun dalam lingkup pemerintahan, Yulinah menyatakan, prosedur pembuangan limbah elektronik berstatus Barang Milik Negara (BMN) harus mengikuti aturan yang ketat sebagai aset pemerintahan. Hal ini menyebabkan, limbah elektronik tersimpan lama di kantor-kantor pemerintahan. “Padahal, sampah elektronik rentan melepaskan senyawa yang berbahaya,” tutur doktor tamatan University of Antwerpen, Belgia.
Yulinah menyebutkan, mekanisme pengelolaan limbah yang bersumber dari dana pemerintah harus disederhanakan. Sebagai evaluasi, Yulinah menyarankan agar status fasilitas penyimpanan terpusat untuk aset bekas pemerintah ditingkatkan menjadi Tempat Penyimpanan Sampah Spesifik Bahan Beracun dan Berbahaya (TPSS B3).
Menyetujui urgensi daur ulang limbah elektronik, pakar limbah berbahaya Da-Yeh University Taiwan, Prof Ching Hwa Lee menyebutkan bahwa Taiwan menerapkan program daur ulang tanggung jawab produsen. Regulasi ini mewajibkan produsen dan importir untuk membayar biaya daur ulang berdasarkan jumlah penjualan atau impornya. Selain itu, pendaur ulang bersertifikat juga diberi subsidi dari dana manajemen daur ulang.
Hwa Lee menegaskan, pendaur ulang bersertifikat memegang peran penting dalam pengelolaan limbah elektronik. Prosedur yang dilakukan di pusat daur ulang mencakup pemisahan komponen-komponen besar, kemudian pengeluaran zat berbahaya seperti zat pendingin, litium, nikel, dan sebagainya. “Komponen panel kaca seperti LCD juga harus dibongkar terlebih dahulu dari rangka utama sebelum diaudit akhir,” sambungnya.
Hwa Lee menyadari, sebagai salah satu negara yang ahli dalam mendaur ulang dan memulihkan limbah, Taiwan memiliki sistem hukum dan administrasi yang matang serta teknologi untuk meminimalkan produksi limbah yang lebih bersih. “Daur ulang limbah elektronik menjadi topik menarik untuk dikolaborasikan dengan Indonesia,” pungkasnya. (ian)
Tinggalkan Balasan