
Surabaya (Trigger.id) – Bulan Ramadhan selalu menjadi momen yang dinanti-nantikan oleh kaum Muslimin, terutama para sufi yang merasakan kedekatan spiritual yang mendalam dengan Allah SWT. Bagi mereka, Ramadhan bukan sekadar bulan ibadah, tetapi juga waktu di mana ruh mereka menemukan ketenangan dan kelezatan dalam munajat serta penghambaan. Namun, ketika Ramadhan berlalu, hati mereka dipenuhi kesedihan dan kerinduan yang mendalam. Berikut adalah kisah beberapa sufi besar ketika ditinggal bulan suci ini.
1. Hasan Al-Bashri: Tangisan Perpisahan
Hasan Al-Bashri, seorang ulama dan sufi terkemuka, dikenal sangat mencintai Ramadhan. Ketika bulan suci ini berakhir, ia menangis tersedu-sedu dan berkata, “Aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau justru ditolak.” Baginya, perpisahan dengan Ramadhan adalah perpisahan dengan kesempatan emas untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah SWT. Ia selalu mengingatkan murid-muridnya untuk tetap menjaga semangat ibadah seperti di bulan Ramadhan.
2. Rabi’ah Al-Adawiyah: Cinta yang Terus Membara
Rabi’ah Al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang terkenal dengan kecintaannya kepada Allah, merasakan Ramadhan sebagai waktu di mana hatinya benar-benar terisi oleh cahaya Ilahi. Ketika bulan suci ini pergi, ia merasa seperti seorang kekasih yang kehilangan momen paling berharga bersama pujaan hatinya. Ia terus melantunkan doa dan pujian kepada Allah, berharap agar kerinduannya tetap terjaga meskipun Ramadhan telah berlalu.
3. Ibrahim bin Adham: Kesedihan Seorang Pecinta
Ibrahim bin Adham, sufi yang meninggalkan kehidupan kerajaan demi mencari Allah, menganggap Ramadhan sebagai tamu yang sangat mulia. Ketika bulan itu pergi, ia berkata, “Andaikan Ramadhan bisa tinggal selamanya bersamaku, aku tidak akan pernah merasa kekurangan di dunia ini.” Ia mengajarkan bahwa selepas Ramadhan, seorang hamba harus tetap menjaga kebersihan hati dan terus memperbanyak dzikir serta amal shalih.
4. Abu Yazid Al-Busthami: Rindu Akan Keakraban dengan Allah
Abu Yazid Al-Busthami, seorang sufi yang dikenal dengan maqam spiritualnya yang tinggi, selalu merasa Ramadhan adalah waktu di mana dirinya benar-benar berada dalam ketenangan jiwa. Ketika bulan itu pergi, ia merasa kehilangan kehangatan ibadah malam dan kesyahduan saat berinteraksi dengan Allah. Baginya, Ramadhan adalah saat di mana hijab dunia tersingkap dan ia bisa merasakan kedekatan yang lebih dalam dengan Sang Pencipta.
5. Al-Junaid Al-Baghdadi: Melanjutkan Semangat Ramadhan
Al-Junaid Al-Baghdadi mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi latihan spiritual yang harus terus berlanjut setelahnya. Ia berkata, “Jangan menjadi hamba Ramadhan, tetapi jadilah hamba Allah setiap waktu.” Dengan demikian, meskipun Ramadhan berlalu, semangat ibadah dan ketakwaan harus tetap terjaga dalam kehidupan sehari-hari.
Merawat Spirit Ramadhan Sepanjang Tahun
Para sufi memahami bahwa Ramadhan adalah bulan penuh berkah yang selalu mereka rindukan. Namun, mereka juga sadar bahwa tantangan sejati adalah menjaga semangat Ramadhan sepanjang tahun. Tangisan mereka bukan hanya karena perginya bulan suci, tetapi juga karena kekhawatiran apakah mereka mampu mempertahankan kedekatan dengan Allah setelahnya. Kisah-kisah mereka mengajarkan kepada kita bahwa meskipun Ramadhan telah pergi, ruh ibadah dan kecintaan kepada Allah harus tetap menyala di dalam hati kita.
Sebagaimana para sufi, marilah kita terus menjaga semangat Ramadhan dalam kehidupan sehari-hari, menjadikan setiap hari sebagai peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan selalu merindukan cahaya Ilahi dalam setiap langkah kita. (ian)
Refrensi: Berbagai sumber
Tinggalkan Balasan