
“Sungguh, bukan main-main perintah pertama Tuhan kepada manusia adalah iqra atau bacalah.”.
Oleh: Isa Anshori (Pemred Trigger.id)

Iqra atau bacalah. Ini sebuah kata perintah dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa kepada mahluknya yang bernama manusia. Manusia diperintah untuk membaca apa saja yang ada di sekelilingnya dan bukan hanya berupa buku, Al Quran, literatur tertulis dan seterusnya.
Tuhan menyuruh manusia untuk membaca jagat alam raya ini. Diminta membaca gunung, lautan, hutan dan sebagainya.
Dari membaca gunung saja kita sebagai masyarakat telah banyak mengetahui sifat-sifat gunung, mengetahui apakah gunung tersebut termasuk gunung berapi atau tidak, mampu memprediksi kapan gunung tersebut akan meletus dan seterusnya.
Manusia yang diberikan akal dan pikiran yang cerdas, akan secara detail mengamati dan mencatat kejadian-kejadian alam termasuk aktifitas gunung dan lain-lain. Dari pengamatan atau “mambaca” tersebut, manusia mampu menganalisa dengan kecerdasan otak yang dimilikinya, sehingga mereka bisa memustuskan kapan akan bertindak dan dengan cara seperti apa untuk bisa menghindarkan diri dari resiko atau dampak fatal yang ditimbulkan oleh banyak kejadian dan fenomena alam.
Dalam urusan yang lebih besar, kemampuan membaca yang dimiliki masyarakat juga sangat membantu memudahkan apa saja yang mereka lakukan.
Manusia menciptakan moda transportasi itu juga berawal dari mengamati (membaca) sifat dan karakteristik dari benda-benda yang ada di sekelilingnya. Manusia mencatat detail apa yang telah mereka lihat atau baca, dikumpulkan data tersebut satu persatu-satu, kemudian data diolah lalu disimpulkan untuk menjadi sebuah teori penemuan.
Dari membaca berbagai macam teori tersebut, manusia memutuskan untuk membuat percobaan atau eksperimen alat atau moda transportasi, Setelah moda transportasi tersebut selesai, lalu dilakukan uji coba, diteliti jika terjadi kesalahan dan seterusnya. Itu semua bisa diperoleh dengan membaca.
Bayangkan jika manusia terkungkung dengan norma dogmatis bahwa membaca itu harus ada bukunya, harus ada tulisannya, menunggu harus ada pembimbing dan seterusnya. Kapan manusia bisa lepas dari belenggu-belenggu tersebut dan sangat rugi jika manusia yang diberikan akal budi dan kecerdasan berpikir hanya digunakan untuk menunggu.
Meskipun manusia telah memiliki kemerdekaan untuk membaca apa saja yang ada di sekelilingnya, namun ternyata banyak yang belum atau tidak memanfaatkannya. Mereka harus rela tetap terbelakang di tengah kemajuan, tetap “miskin” di tengah masyarakat berkecukupan, dan mereka tetap merasa tidak mampu di tengah kebermampuan.
Ada fakta yang unik di masyarakat kita (Indonesia). Di tengah budaya membaca yang masih tergolong rendah, ternyata dalam bermedia sosial masyarakat Indonesia tergolong paling cerewet. Ini bisa dimaklumi karena ternyata Indonesia menempati posisi keempat dengan 170,4 juta pengguna smartphone. Penetrasi smartphone di dalam negeri telah mencapai 61,7% dari total populasi. Dan rupanya telepon pintar tersebut tidak berbading lurus dengan minat baca masyarakat kita.
Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah.
Literasi sendiri adalah kedalaman pengetahuan seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahuan.Rendahnya tingkat literasi bangsa Indonesia ditengarai karena selama berpuluh-puluh tahun bangsa Indonesia hanya berkutat pada sisi hilir.Syarif mengatakan sisi hilir yang dimaksud yakni masyarakat yang terus dihakimi sebagai masyarakat yang rendah budaya bacanya (Muhammad Syarif Bando – Kepala Perpusnas).
Karena negara kita dikatakan memiliki budaya baca yang rendah, maka otomatis rendah pula tingkat literasinya.
Padahal jika manusia itu mau membaca apa saja, jelas akan memerdekakan dari belenggu kebodohan, ketertinggalan dan seterusnya. Karena itu, kita tidak perlu heran jika sering mendengar istilah “kita tidak pernah belajar dari kesalahan, kita tidak pernah belajar dari sejarah dan sebagainya”. Bagaimana kita bisa bisa belajar dari kesalahan jika kita tidak pernah membaca, bagaimana kita bisa lepas dari belenggu kebodohan jika kita tidak pernah membaca cara orang menjadi sukses. (ian)
Tinggalkan Balasan