

Arab Saudi telah menerbitkan regulasi baru, terkait istitaah kesehatan haji 2026. Jika dicermati, persyaratan kesehatan haji 2026 tidak jauh berbeda dengan regulasi sebelumnya. Tapi ada perbedaan prinsip, soal ketatnya penerapan regulasi yang baru itu. Otoritas setempat berhak meneliti secara acak, status istitaah kesehatan jamaah haji Indonesia (JHI). Pemeriksaannya bisa dilakukan di bandara, hotel, ataupun area Masyair (Mina, Arafah, Muzdalifah). Jika tidak memenuhi standar yang mereka kehendaki, tuan rumah berhak memulangkan kembali JHI. Siapa yang harus bertanggungjawab bila masalah tersebut benar-benar terjadi ? Sebagai tamu, JHI harus bersiap menyesuaikan diri dengan ketatnya aturan tersebut.
Sejatinya penerbitan regulasi baru tersebut, demi kebaikan bersama. Tujuan utamanya menekan serendah mungkin angka morbiditas dan mortalitas JHI. Sebab ada perbedaan perspektif kepentingan, antara Arab Saudi dengan Indonesia.
Perspektif Arab Saudi
Persoalan banyaknya jamaah haji (JH) yang wafat dari seluruh dunia, berpotensi menurunkan citra Arab Saudi. Pasalnya, liputan negatif media internasional dapat menurunkan kredibilitas pemerintahannya. Contohnya tragedi Masjidil Haram yang traumatis, September 2015. Ambruknya crane dengan berat 1100 ton, menewaskan 118 orang. Sebanyak 394 orang lainnya, mengalami luka-luka. Duka mendalam bertambah. Dalam waktu yang tidak berselang lama, disusul tragedi Mina. Luberan JH yang berdesak-desakan, memicu korban jiwa lebih dari dua ribu orang. Sedikitnya 934 JH lainnya terluka. Pengalaman tertimpa musibah besar, mendorong pemerintah Arab Saudi bersikap jauh lebih hati-hati dan waspada. Masalahnya, ada “pundi-pundi” besar yang berisiko tergerus, jika pengelolaan haji tidak dilakukan secara maksimal.
Visi pemerintahan yang dipimpin Raja Salman itu, melakukan diversifikasi ketergantungan negaranya pada minyak. Proyeksinya mampu meningkatkan jumlah kedatangan “wisatawan religi”, baik haji ataupun umrah hingga 30 juta jamaah pada tahun 2030. Penyelenggaraan haji merupakan besaran pendapatan negara kedua, setelah ekspor minyak (ResearchGate,2024) .
Sebenarnya pemerintah Arab Saudi tidak mau terlalu repot mengurusi JH yang sakit. Bagi mereka, situasi “rumit” tersebut mendatangkan beban besar pada sistem kesehatannya. Fasilitas kesehatan, harus disebar di semua tempat. Mulai klinik hingga rumah sakit, mesti mempersiapkan lebih banyak dokter, perawat, peralatan penunjang medis, dan obat-obatan. Jika ada JH yang wafat, keruwetan semakin bertambah. Sebab diperlukan koordinasi yang lebih intensif antar petugas haji, terkait identifikasi jenazah, prosedur pemakaman, hingga tatalaksana administrasi lainnya. Lahan pemakaman amat terbatas, sehingga kebijakan penerapan “makam tumpuk” pun tak terhindarkan. Tentunya semakin banyak menyita waktu dan biaya. Dana kompensasi dan asuransi, harus mereka persiapkan pula, jika terjadi kecelakaan atau musibah. Demi citra terhadap masyarakat internasional, pemerintah Arab Saudi sangat berhati-hati pada sorotan organisasi hak asasi manusia (HAM). Human Right Watch sering bersikap kritis. Terutama bila terjadi keterlambatan respons mitigasi, tatkala cuaca ekstrem memantik korban jiwa. Karena itulah pemerintah setempat terus berupaya meningkatkan infrastruktur dan fasilitas layanan haji.
Perspektif Indonesia
Selama ini penyelenggaraan haji berada dalam naungan Kementerian Agama (Kemenag). Indikator politis kesuksesannya, dinilai dari manajemennya menekan angka mortalitas JHI sekecil mungkin. Apalagi jika dapat memangkas durasi antrean keberangkatan haji yang memakan waktu hingga puluhan tahun. Kini estafet otoritasnya, berhijrah ke pundak Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj). Tidak banyak waktu yang dimiliki Kemenhaj. Jika musim haji 2026 dimulai 18 April, persiapannya hanya tinggal enam bulan lagi. Artinya, suatu tantangan yang tidak mudah dilaksanakan oleh Kementerian yang belum cukup memiliki jam terbang. “Ngangsu kawruh” mesti diupayakan maksimal pada Kementerian “seniornya”.
Penentuan istitaah kesehatan, sebaiknya dilaksanakan selekas mungkin. Kepentingannya agar calon JH (CJH) yang tidak memenuhi kualifikasi, dapat dideteksi secara dini. Haknya dapat segera dialihkan pada keluarganya, atau CJH lainnya. Alternatifnya, segera melakukan terapi secara optimal. Jika dinilai telah memenuhi syarat istitaah kesehatan, dapat dipertimbangkan lagi untuk diberangkatkan.
Ada sebelas macam penyakit yang dikategorikan tidak memenuhi syarat istitaah kesehatan. Di antaranya penyakit jantung koroner, diabetes melitus tidak terkontrol, gagal ginjal, dan kanker stadium lanjut. Penyakit lainnya, seperti stroke, hipertensi tidak terkontrol, penyakit paru kronis, gangguan mental berat, penyakit autoimun tidak terkontrol, penyakit menular aktif, serta epilepsi, termasuk pula dalam kategori kegagalan istitaah kesehatan. Seyogianya prosedur standar operasional yang digunakan, dibuat lebih terperinci. Pasalnya tidak semua daerah memiliki fasilitas dan tenaga dokter kompeten yang mampu menerjemahkan standar istitaah kesehatan. Konsekuensinya, fasilitas kesehatan dituntut menerapkan aturan yang lebih “rigid” dan tanggung jawab moril yang lebih besar. “Rekayasa” skrining yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, membawa risiko besar pada JHI. Dampaknya JHI yang telah menanti puluhan tahun, terpaksa harus dipulangkan kembali ke tanah air.
Optimalisasi skrining kesehatan di tanah air, berpotensi mencegah angka kematian JHI. Diharapkan nantinya tidak ada lagi JHI yang wafat di pesawat ketika dalam perjalanan, atau sesaat setelah sampai di bandara tujuan. Tidak ada pula prosesi ibadah yang harus disela dengan cuci darah, atau pengobatan borok komplikasi diabetes.
Semoga tidak terdengar lagi narasi sarkastik “Why do you bring people to death here” ? (mengapa anda kirim JHI ke sini hanya untuk meninggal?), dari otoritas tuan rumah pada pemerintah Indonesia.
—–o—–
*Penulis :
- Pengajar senior di :
- Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :
- Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
- Serba-serbi Obrolan Medis
- Catatan Harian Seorang Dokter
- Sisi Jurnalisme Seorang Dokter (dua jilid)



Tinggalkan Balasan