

Untuk sekian kalinya mata dunia tertuju ke Kongo. Para pengambil kebijakan di berbagai negara diterpa kekhawatiran. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai badan dunia yang paling berkepentingan, segera merespons. Pasalnya provinsi Kwango di Republik Demokratik Kongo (RDK), dilanda penyakit “misterius”. Dalam tempo relatif singkat (akhir Oktober-5 Desember 2024), wabah menyerang sekitar 400 penduduk. Sebanyak 31 orang dilaporkan tewas. Artinya angka mortalitasnya mencapai 7,6 persen. Wajar bila terjadi kekhawatiran pada banyak pihak. Bila dibandingkan dengan COVID-19, angka tersebut berbeda cukup signifikan. Persentase kematian pada penyakit penyebab pandemi terakhir kali itu, ditargetkan hanya satu persen saja.
Beberapa waktu yang lalu, RDK ditetapkan menyandang status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) oleh WHO. Peristiwanya terjadi pada 14 Agustus 2024. Mpox atau sebelumnya dikenal sebagai cacar monyet, adalah biang penyebabnya. Itu bukanlah penetapan PHEIC untuk pertama kalinya. Problem darurat yang sama di RDK, juga pernah diumumkan pada bulan Juli 2022. PHEIC merupakan “peristiwa luar biasa” yang merupakan indikator tingkat kewaspadaan tertinggi. Artinya memiliki konsekuensi yang “serius, mendadak, tidak wajar, atau tidak terduga”. Legalitasnya berdasarkan Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation/IHR) Tahun 2005. Persoalan tersebut mengharuskan respons segera yang terkoordinasi dari semua negara di dunia.
Penyakit “misterius” yang kini terjadi di RDK, belum ditetapkan sebagai PHEIC. Para ahli WHO dan peneliti sedang mengkaji, apa sebenarnya yang melatarbelakangi penyebabnya. Sejatinya WHO telah memprediksi, bahwa suatu saat pandemi akan melanda dunia. Dalam cetak birunya tahun 2018, dunia harus cepat merespons dan merancang suatu tindakan, apabila terjadi wabah di suatu negara tertentu. Terminologi “penyakit X” adalah etiologi hipotetis mikroba tertentu yang berpotensi memantik wabah. Pandemi COVID-19 yang diawali dari Wuhan-China pada akhir tahun 2019, memenuhi kriteria sebagai “penyakit X” untuk pertama kalinya. Trauma pandemi COVID-19, memicu kekhawatiran bahwa RDK merupakan episentrum baru terjadinya wabah.
Baca juga: Rokok, Judol, dan Narkoba, Relasi Antara Legal dan Ilegal
Mengapa RDK ?
Merebaknya suatu penyakit menular, selalu berkaitan dengan interaksi tiga unsur. Faktor inang/populasi yang rentan, lingkungan yang sesuai, dan mikroba patogen, akan saling memengaruhi. Kini RDK sedang menghadapi banyak masalah. Negara tersebut merupakan negara terbesar kedua di Afrika. Populasinya mencapai 109 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Kendala terbesarnya menyangkut stabilitas politik yang rendah, minimnya infrastruktur, korupsi, perang saudara yang tak berkesudahan, dan indeks pembangunan manusia (IPM) yang tergolong rendah di dunia. Peringkatnya hanya menempati posisi ke-179, dari 191 negara di seluruh dunia.
Menurut laporan Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), negara tersebut mengalami tingkat kerawanan pangan darurat. Khususnya di provinsi Kwango, banyak anak-anak yang mengalami krisis gizi. Sarana diagnostik, perawatan kesehatan, dan capaian vaksinasinya pun tergolong serba terbatas. Musim hujan yang saat ini terjadi, menambah kian rumitnya penanganan wabah di provinsi setempat. Alhasil berbagai masalah yang terjadi di RDK, membawa dampak pada lambatnya sistem pelaporan deteksi dini penyakit yang berpotensi wabah.
Mikroba patogen
Gejala penyakit yang dilaporkan terjadi di Provinsi Kwango, disebut-sebut mirip flu. Rata-rata korbannya mengalami demam tinggi, sakit kepala, badan terasa nyeri, dan batuk-pilek. Mayoritas juga disertai anemia. “Anehnya” meski mirip flu, namun fatalitasnya cukup tinggi. Misteri itu sedikit terkuak, dengan terdeteksinya parasit malaria pada sampel darah sebagian penderita. Gambaran penyakit yang tidak lazim tersebut, diduga bukanlah disebabkan oleh mikroba tunggal. Kini penelitian sedang berlangsung, untuk mengungkap kepastian apakah ada penyebab penyerta lainnya.
Berbagai penyakit diketahui endemis di RDK. Malaria dan Mpox, dikenal sebagai kasus endemis utama. Ada pula demam berdarah dengue (DBD) dan Chikungunya. Seperti halnya malaria, kedua penyakit virus itu ditularkan melalui gigitan nyamuk dengan spesies yang berbeda. Musim hujan yang kini sedang terjadi, disinyalir memantik peningkatan populasi nyamuk sebagai vektor/pembawa penyakit.
Negara yang terletak di bagian tengah-barat Afrika Sub-Sahara tersebut, juga dikenal memiliki angka tuberkulosis dan HIV/AIDS yang tinggi. Ada pula penyakit yang jarang ditemukan di negara-negara lain, tetapi endemis di RDK. Contohnya adalah neglected tropical diseases (antara lain : filariasis, helminthiasis, schistosomiasis, dan onchocerciasis). Semuanya mencerminkan buruknya sanitasi dan higienitas.
Risiko terjadinya wabah lebih memungkinkan terjadi, apabila disebabkan oleh mikroba yang sebelumnya belum pernah diidentifikasi. Bisa juga dipicu oleh mikroba yang sudah diketahui, tetapi mengalami evolusi. Khususnya yang ditularkan melalui hewan (zoonosis).
Inang/populasi yang rentan.
Hampir keseluruhan kasus yang dilaporkan di RDK, terjadi pada anak-anak dengan gizi buruk. Masalah stunting/tengkes, mengakibatkan sistem imunitas tidak kompeten menghadapi infeksi. Infeksi apa pun yang berkategori ringan pada individu yang sehat, bisa bermanifestasi lebih berat, bahkan menjurus fatal pada anak dengan gizi buruk. Apalagi bila terjadi infeksi ganda pada inang/populasi yang terpapar tersebut.
Ada aspek yang perlu mendapatkan perhatian khusus, apabila infeksi terjadi pada individu dengan sistem imun yang terganggu (imunodefisiensi/immunocompromised). Pada umumnya mereka akan mendapatkan pengobatan anti mikroba yang lebih kuat, dosis yang lebih tinggi, dan jangka waktu pemberian yang lebih lama. Dengan sendirinya memantik biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi.
Kini semakin banyak laporan terkait meningkatnya kasus malaria yang kebal terhadap pengobatan. Fenomena itu terjadi juga di RDK dan negara-negara Afrika lainnya, serta di Indonesia (khususnya Indonesia Timur).
Banyak pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kasus yang terjadi di RDK. Stabilitas politik dan ekonomi, mendasari solusi persoalan sosial dan kesehatan yang terjadi di masyarakat. Apabila terjadi peningkatan kasus penyakit yang tidak lazim terjadi, respons tanggap darurat kesehatan diharapkan akan berjalan efektif.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan