

“Lupa” arah jalan menuju rumahnya kembali. Itu narasi yang lazim masyarakat sampaikan, saat mencari keluarganya yang “hilang” atau tersesat. Benarkah contoh kejadian tersebut menggambarkan fenomena pikun ? Tidak jarang pula seseorang “lupa”,di mana dirinya saat ini berada. Juga “lupa” waktu. Bisa juga “lupa”, apakah sudah makan atau belum. Umumnya orang yang mengalami pikun, diawali gejala sulit mengingat suatu informasi yang baru saja dipelajari. “Kehilangan” memori sering tampak dari sulitnya konsentrasi mengerjakan aktivitas sehari-sehari. Padahal sebelumnya hal itu telah rutin dilakukan. Perilaku kekanak-kanakan, seolah kembali saat masih kecil, lazim dilakukan oleh seseorang yang pikun.
Meski tidak selalu, pikun banyak dikaitkan dengan faktor usia. Secara global, usia harapan hidup (UHH) penduduk dunia mencapai 73,3 tahun, pada tahun 2024. Berdasarkan proyeksi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),penduduk lansia (di atas 60 tahun) akan mencapai 1,4 miliar jiwa, pada tahun 2030.Angka tersebut berimplikasi pada problem medis spesifik terkait lansia. Pikun atau demensia, merupakan contoh yang paling lazim. Menurut WHO pula, demensia menjadi masalah utama disabilitas dan ketergantungan individu lansia. Dampaknya tidak hanya menurunnya kualitas hidup, tapi juga beban fisik, psikologis, dan sosial-ekonomi.
Dampak ekonominya secara global cukup signifikan. Kerugiannya bisa mencapai 1,3 triliun dolar AS. Sekitar 50 persen dari biaya tersebut, dikeluarkan untuk pengasuh informal. Rata-rata mereka memerlukan lima jam perawatan dan pengawasan per hari. Efek negatif rentetannya, bisa menimpa pada orang-orang yang merawatnya, keluarga, ataupun masyarakat secara keseluruhan. Tidak jarang pula, berpotensi memantik terjadinya stigma.
Demensia
Demensia merupakan istilah umum yang menggambarkan penurunan kemampuan kognitif seseorang. Dampaknya pasti akan mengganggu aktivitas kehidupannya sehari-hari. Penyebab utama demensia adalah penyakit Alzheimer. Proporsinya sekitar 70 persen kasus. Sisanya terkait penyebab lainnya. Misalnya penyakit kronis, seperti hipertensi, diabetes melitus, ataupun stroke. Konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, defisiensi nutrisi, dan polusi udara, juga merupakan faktor risikonya.
Sejatinya Alzheimer merupakan proses degenerasi/inflamasi kronis yang menyasar pada susunan saraf pusat (SSP). Meski mekanisme pasti Alzheimer sedang dalam riset intensif, tapi mikroba tertentu diduga kuat melatarbelakangi penyebabnya. Contohnya adalah virus herpes simpleks tipe 1, bakteri (Chlamidiapneumonia/CP),jamur(Candida albicans), hingga parasit (Toxoplasmagondii). Semua mikroba tersebut dikenal mampu memicu infeksi laten yang tidak menimbulkan gejala nyata. Sebaliknya berisiko “berjalan”, memasuki area jaringan SSP.
Perlu dipahami, proses penuaan/degenerasi tidak selalu harus diikuti dengan munculnya demensia. Data epidemiologi menunjukkan, sebanyak sembilan persen kasus demensia timbul sebelum lansia.
Mengupil
Melalui suatu riset pada binatang coba, infeksi dengan mikroba tertentu dapat memicu timbulnya demensia. Mikroba tersebut adalah bakteri CP. Melalui kebiasaan yang unik yaitu mengupil, diduga kuat memudahkan bakteri tersebut menyasar saraf penciuman.Selanjutnya berpotensi memasuki SSP. CP mampu melewati mekanisme skrining pertahanan tubuh yang fisiologis, berupa sawar darah otak. Proses tersebut tidak bisa terjadi hanya dalam tempo sekali waktu saja. Diperlukan durasi waktu yang bisa berlangsung cukup lama dan berulang.Akhirnya akan berujung menimbulkan gambaran patologi yang nyata. Selama ini dipahami, bahwa mengupil merupakan kebiasaan yang tidak berbahaya. Tetapi ternyata tidak bebas dari risiko seperti yang diperkirakan sebelumnya.
Melalui mekanisme tertentu yang belum dapat diuraikan dengan pasti, bakteri CP dapat menginduksi terjadinya pengendapan protein abnormal pada sel-sel saraf di otak. Substansi protein abnormal itu disebut dengan beta amiloid dan protein tau. Bentukannya berupa endapan plak, dengan gambaran patologinya yang khas didapatkan pada demensia.
Meski riset awal baru dilakukan pada hewan coba, tetapi mekanisme yang mungkin melandasinya bisa memberikan gambaran terjadinya demensia pada manusia. Saat ini para peneliti sedang melakukan riset lanjutan secara intensif, guna mengungkap tabir masalah demensia dengan lebih gamblang.
Pencegahan
Hingga kini belum ada obat yang efektif untuk tatalaksana demensia. Konsep mencegah daripada harus mengobati, layak diterapkan. Berdasarkan penelitian observasional, faktor gaya hidup sehat dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, berkontribusi menurunkan faktor risikonya. Contohnya adalah melakukan aktivitas fisik secara reguler, pengendalian tekanan darah, dan latihan kognitif (rajin membaca, menekuni hobi, bersosialisasi).
Mengendalikan kadar gula darah pada tingkat yang optimal, mempertahankan berat badan ideal, dan konsumsi makanan sehat, terbukti dapat menurunkan risiko terjadinya demensia. Sayur, biji-bijian, makanan laut, serta daging tanpa lemak, sangat direkomendasikan. Tidak merokok, menghindari minuman beralkohol, serta tidur nyenyak dalam jangka waktu yang optimal,penting untuk tetap dilakukan.
Berdasarkan pemahaman mekanisme timbulnya demensia, kini berkembang gagasan merancang vaksin guna pencegahannya. Targetnya mencegah infeksi laten kronis, agar tidak terbentuk endapan plak beta amiloid dan protein tau. Kini vaksin-vaksin tersebut sedang dalam fase uji klinis. Diharapkan tidak berselang lama, dapat segera diaplikasikan pada masyarakat.
Selamat hari Alzheimer Sedunia 21 September 2025. Jangan malu bertanya.Itu tema penting meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang demensia. Caranya dengan mendorong orang untuk selalu bertanya.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan