
Setelah Amerika Serikat (AS) menyatakan keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kini USAID terancam giliran berikutnya. Meski mengundang pro-kontra di dalam negeri Paman Sam, keputusan kontroversial Donald Trump tersebut mesti diantisipasi. Pasalnya Indonesia merupakan salah satu dari ratusan negara di dunia yang diprediksi terkena imbasnya. Khususnya menyangkut mitigasi tuberkulosis (TB) dan HIV/AIDS.
Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), adalah suatu badan independen. Perannya sebagai penyokong dana bidang ekonomi, pembangunan, dan kemanusiaan. Termasuk pula inisiatif kesehatan global. Pada hakikatnya tidak ada makan siang yang gratis. Tujuan politisnya agar negara penerima donasi, dapat “menyesuaikan diri dan selaras” dengan kebijakan luar negeri AS. Banyak pakar menilai keputusan Trump “menceraikan” USAID tersebut, terkait dengan efisiensi anggaran. Ada pula maksud-maksud tertentu lainnya. Antara lain menggelorakan “Make America Great Again” (MAGA) dan “America First”, seperti slogan saat kampanye Trump.
Tantangan mitigasi TB kabinet Merah-Putih
Kini pemberantasan TB menjadi atensi utama kabinet Merah-Putih. Indonesia memiliki jumlah penyandang TB peringkat kedua terbanyak di dunia, setelah India. Diperkirakan sedikitnya ada 1.090.000 kasus. Setiap tahun bertanggungjawab atas 134 ribu kematian penyandangnya. Besaran angka mortalitas itu, identik dengan 17 orang meninggal setiap jam akibat TB. Sangat mungkin realitas kasus yang ada di masyarakat, jauh melampaui catatan tadi. Pasalnya persoalan TB ibarat fenomena gunung es. Kasus-kasus yang tidak terdeteksi, bisa berjumlah hingga sepuluh kali lipat, bila dibanding yang terkonfirmasi.
Seseorang yang tertular Mycobacterium tuberculosis (MTB), tidak mesti langsung jatuh sakit. Mayoritas “hanya” mengalami infeksi laten TB (LTBI). Fenomena itu bisa terjadi, bila sistem imunitasnya adekuat. Dengan berjalannya waktu, sepuluh persen di antara LTBI akan berkembang menjadi TB aktif. Berbagai faktor bisa memicunya. Misalnya diabetes, penyakit autoimun, kanker, dan berbagai penyakit dengan gangguan sistem imunitas.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), merupakan kondisi yang paling rentan mengalami TB aktif. Risikonya hingga 20-30 kali lipat, bila dibanding non-ODHA.
Diperkirakan, sekitar 30 persen ODHA memiliki status TB aktif. Kondisi itulah yang mengakibatkan mortalitas utama pada ODHA. Hingga Maret 2023, ada sebayak 522.687 kasus ODHA di negara kita. Setahun berikutnya telah bertambah sebanyak 47.896 kasus. Pola epidemiologi HIV mirip dengan TB. Lagi-lagi menyerupai fenomena gunung es. Banyak kasus HIV di masyarakat yang tidak terdeteksi, hingga akhirnya memasuki fase AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Periode waktu peralihan tersebut, bisa berlangsung sampai bertahun-tahun. AIDS menggambarkan suatu kondisi yang diakibatkan oleh rusaknya sistem imunitas. Ibarat negara tanpa sistem pertahanan, penyandangnya rentan terinfeksi oleh mikroba jenis apa pun. Termasuk TB. ODHA berpotensi menularkan penyakitnya melalui cairan tubuh dan darah mereka. Terbanyak melalui kontak seksual.
Mitigasi TB bukanlah persoalan sederhana. Bahkan bisa dibilang pelik dan melelahkan. Masalahnya berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan dan pengentasan kemiskinan. Sebanyak 65 persen pengidapnya, beririsan dengan problem masyarakat miskin. Secara beranting kemiskinan berpotensi memantik terjadinya kekurangan gizi, intoleransi obat, komplikasi, dan fatalitas. Umumnya penyandang TB enggan terbuka menyangkut kondisi kesehatannya. Sering kali mereka justru mengalami stigma dan akhirnya terdiskriminasi, jika diketahui mengidap TB oleh masyarakat di sekitarnya. Edukasi agar patuh mengonsumsi obat secara reguler pun, sering mengalami kendala. Dampaknya memicu terjadinya TB resistan obat (TB-RO) yang semakin menambah kompleksnya mitigasi TB.
Meski tidak mudah, deteksi dini LTBI ataupun TB aktif sekaligus mengobatinya, merupakan langkah penting mitigasi. Diagnosis TB aktif bisa dilakukan melalui pemeriksaan darah, tes kulit tuberkulin (TKT), radiologi dada, atau pemeriksaan bakteriologi dahak. Setiap tes tidak ada yang ideal. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Meski tidak akurat seratus persen, tes cepat molekuler TB (TCM-TB) dapat menjadi alternatif pilihan utama di Indonesia. Sensitivitasnya cukup tinggi dan hasilnya pun, dapat disimpulkan dalam waktu yang relatif singkat. Biasanya hanya kurang dari dua jam saja. Secara simultan, TCM dapat mendeteksi MTB yang resistan terhadap obat utama, yakni rifampicin.
Deteksi LTBI relatif lebih “rumit”. Selain tidak ada gejala yang spesifik, pemeriksaan TKT dan tes darah (IGRA/interferon-gamma release assay) memiliki keterbatasan. TKT memberikan hasil yang tidak spesifik. Interpretasinya pun memerlukan tingkat keahlian tertentu. Di sisi lain, IGRA berbiaya mahal dan tidak semua laboratorium memiliki perangkat diagnostik tersebut. LTBI memerlukan pengobatan pencegahan, agar tidak berkembang menjadi TB aktif.
Peran USAID di Indonesia
USAID telah cukup lama bermitra dengan pemerintah, dalam pemberantasan TB di Indonesia. Targetnya mengeliminasi TB pada tahun 2030. Melalui dana yang disalurkan, USAID memberikan dukungan teknis percepatan penanggulangan TB dan ketersediaan peralatan TCM. Demikian pula dengan bantuan obat-obatan untuk melawan TB dan HIV. Dengan dibekukannya dana hibah USAID, Indonesia harus aktif menjalin kerja sama dengan pihak-pihak lainnya.
Baca juga: Buku, Prabowo, dan Keteladanan
Peluang kolaborasi dengan India
India dikenal dengan kemajuan yang pesat di bidang bioteknologi. Keunggulan itulah yang membawa Negeri Hindustan menjadi “gudang farmasi” dan produsen vaksin terbesar di dunia. Kunjungan kenegaraan Presiden Prabowo baru-baru ini ke India, membuka peluang kerja sama di bidang kesehatan. Riset temuan vaksin TB rekombinan yang baru, menjadi sasaran kolaborasi kedua negara. Temuan vaksin tersebut, diharapkan dapat menggantikan peran BCG yang kurang efektif.
Alih teknologi perangkat diagnostik yang lebih akurat dibanding TKT, juga menjadi target aliansi. Tes kulit yang diberi kode Cy-Tb, telah didayagunakan di India dengan hasil yang sangat memuaskan. Modalitas diagnostik tersebut, diproduksi oleh Serum Institute of India dan telah mendapatkan pengakuan internasional.
Vaksinasi untuk tujuan pencegahan dan deteksi dini penyakit, telah terbukti merupakan tulang punggung mitigasi penyakit menular.
Semoga Indonesia mampu berdiri tegak mengeliminasi TB, meski tanpa campur tangan USAID.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan