
Surabaya (Trigger.id) – Siang itu, Jumat, 28 Maret 2025, seharusnya menjadi hari penuh kedamaian bagi umat Islam di Myanmar. Seperti biasa, masjid-masjid di berbagai kota dipenuhi jemaah yang melaksanakan Salat Jumat. Namun, tepat pukul 12.50 waktu setempat, suasana khusyuk berubah menjadi kepanikan luar biasa. Tanah berguncang hebat, membuat bangunan masjid bergetar sebelum akhirnya roboh dalam hitungan detik. Puluhan jemaah tertimpa reruntuhan, sementara suara takbir dan jeritan meminta tolong bersahut-sahutan di tengah kepulan debu tebal.
Kisah Para Penyintas di Tengah Tragedi
Shin Thant Sanat, seorang mahasiswa yang tengah beristirahat di rumahnya, merasakan guncangan yang begitu kuat hingga membangunkannya dari tidur siang. Ia segera berlari keluar bersama ibunya yang panik, hanya untuk menyaksikan kehancuran terjadi di depan matanya. Pemandangan yang terhampar adalah bangunan yang rubuh, tiang listrik tumbang, dan orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri.
Namun, yang paling mengguncang hatinya adalah pemandangan masjid yang runtuh saat Salat Jumat tengah berlangsung. “Aku melihat jemaah berusaha berlari keluar, tetapi tak semua bisa menyelamatkan diri,” ujarnya dengan suara bergetar. Masjid yang selama ini menjadi tempat ibadah dan kedamaian kini berubah menjadi puing-puing.
Nasib lebih memilukan dialami Kyi Shwin, seorang ayah yang tengah makan siang ketika gempa terjadi. Ia segera menggendong putrinya yang berusia tiga tahun dan berusaha keluar dari rumah, tetapi nasib berkata lain. Bangunan yang mereka tempati ambruk dalam sekejap, menimpa mereka berdua. “Saya berusaha berlari, tapi tidak sempat. Saya tertimpa reruntuhan batu bata,” kenangnya. Sayangnya, putrinya tak dapat diselamatkan.
Penyebab Gempa dan Dampak Besar yang Ditinggalkan
Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) melaporkan bahwa gempa berkekuatan 7,7 skala Richter tersebut dipicu oleh pergerakan lempeng tektonik India dan Eurasia. Episentrum gempa berada di barat laut Sagaing dengan kedalaman dangkal, menyebabkan getarannya terasa sangat kuat di permukaan. Beberapa menit setelahnya, gempa susulan berkekuatan 6,4 skala Richter kembali mengguncang wilayah tersebut.
Akibatnya, kota-kota di Myanmar berubah drastis. Bangunan runtuh, pohon-pohon tumbang, dan debu memenuhi udara. Warga yang panik berlarian ke jalan-jalan, takut akan gempa susulan. “Itu adalah getaran paling kuat yang pernah saya rasakan,” ungkap seorang penyintas yang masih syok dengan apa yang terjadi.
Pelajaran dari Bencana
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa manusia tak bisa menghindari kehendak alam. Meski teknologi telah berkembang pesat, belum ada yang mampu memprediksi dengan pasti kapan gempa bumi akan terjadi. Oleh karena itu, kesiapsiagaan dan edukasi mitigasi bencana menjadi hal yang sangat penting untuk mengurangi jumlah korban jiwa di masa mendatang.
Saat ini, tim penyelamat masih bekerja keras untuk mencari korban yang tertimbun reruntuhan. Sementara itu, doa dan solidaritas dari berbagai pihak terus mengalir bagi masyarakat Myanmar yang tengah berduka. (bin)
Tinggalkan Balasan