
Banyumas (Trigger.id) — Di tengah gempuran arus globalisasi dan modernisasi, para budayawan Banyumas kembali menghidupkan makna tradisi “Suran” sebagai wujud kecintaan terhadap akar budaya Jawa yang sarat nilai spiritual, historis, dan kebijaksanaan lokal.
Di tengah malam yang hangat di Sanggar Among Jitun Dhalang Nawan, Desa Karangnangka, Kecamatan Kedungbanteng, sejumlah tokoh budaya seperti Ketua Yayasan Dhalang Nawan, Bambang Barata Aji; Sekretaris Umum Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas (DKKB), Jarot C. Setyoko; dan pelaku seni budaya Deskart S. Jatmiko duduk bersama dalam sebuah diskusi bertema “Sejarah dan Makna Suran Bagi Orang Jawa.” Acara ini menjadi ruang refleksi sekaligus ajakan terbuka kepada masyarakat untuk tidak melupakan tradisi “Suran” yang biasanya digelar tiap bulan Sura dalam kalender Jawa, bertepatan dengan bulan Muharam dalam kalender Islam.
Dari Sultan Agung ke Masyarakat Modern
Dalam pemaparannya, Deskart mengisahkan kembali jejak sejarah “Suran” yang berakar pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Saat itu, sang Raja Mataram menyatukan kalender Saka (Hindu) dengan kalender Hijriah (Islam) menjadi kalender Jawa. Sebuah langkah visioner yang bukan hanya bersifat administratif, melainkan juga politis dan kultural—karena dilakukan di tengah konsolidasi kekuatan melawan penjajahan VOC di Batavia.
Sementara Jarot C. Setyoko memperdalam makna “Sura” dengan mengaitkannya pada istilah Arab “Asyura”—tanggal 10 Muharam yang dianggap suci oleh berbagai agama dan tradisi. Ia mencontohkan bagaimana umat Syiah, Yahudi, dan Nasrani memiliki makna tersendiri atas hari itu, seperti kisah penyelamatan Nabi Musa. “Ini bukti bahwa masyarakat Jawa memiliki kecerdasan kultural yang tinggi, mampu menyerap nilai lintas peradaban dan menyatukannya secara harmonis dalam tatanan sosial-budaya,” ujar Jarot.
Bukan Sekadar Ritual, Tapi Penghormatan Semesta
Bagi Bambang Barata Aji, “Suran” lebih dari sekadar tradisi tahunan. Ia menyebutnya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, kehidupan, alam semesta, dan Sang Pencipta. Tradisi ini, menurutnya, adalah ekspresi budaya yang hidup dari kesadaran kosmis masyarakat Jawa—dimana setiap ritual mencerminkan harmoni antara yang kasat mata dan tak kasat mata.
“‘Suran’ bukan sekadar perayaan simbolik. Ia adalah jembatan budaya yang menyatukan generasi, menciptakan ruang kebersamaan, dan memperkuat jati diri,” tegasnya.
Bambang juga menekankan bahwa dalam situasi zaman yang makin kompleks, pelestarian budaya lokal seperti “Suran” menjadi benteng identitas. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal dan menjaga budayanya. China, Korea, Jepang bisa maju karena budaya mereka tak ditinggalkan. Kita pun bisa,” ujarnya penuh keyakinan.
Budaya Sebagai Panglima
Di tengah diskusi, mengemuka pula perbincangan tentang wacana Hari Kebudayaan Nasional yang diinisiasi oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Meskipun tanggal 17 Oktober yang diusulkan menuai pro dan kontra, bagi Bambang, wacana ini adalah awal yang menggembirakan.
“Selama ini budaya terlalu dipinggirkan. Yang diutamakan ekonomi, hukum, politik, tapi hasilnya belum maksimal. Maka sekarang biarlah budaya yang jadi panglima,” katanya, sembari menegaskan bahwa budaya mencakup bukan hanya seni, tapi juga teknologi, tradisi, dan seluruh cipta-karsa manusia dalam menjalani kehidupan.
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa penetapan Hari Kebudayaan tidak boleh bersifat politis sesaat. “Harus berdasar kuat pada nilai-nilai budaya bangsa, bukan demi kepentingan kelompok. Mari kita diskusikan bersama secara terbuka,” ajaknya.
Mewarisi Bukan Sekadar Mengulang
Ajakan para budayawan Banyumas ini tidak hanya menggugah, tapi juga menjadi cermin bagi masyarakat Jawa—dan bangsa Indonesia secara umum—untuk mulai memaknai tradisi sebagai bagian dari perjalanan spiritual dan kebangsaan. “Suran” bukan sekadar ritual turun-temurun, melainkan pelajaran hidup dari leluhur yang memadukan nilai religius, kosmologis, dan sosial dalam satu tarikan napas budaya.
Karena sejatinya, warisan budaya bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk diteruskan dan dimaknai kembali dalam kehidupan yang terus berubah. (ian)
Tinggalkan Balasan