
Wakatobi (Trigger.id) – Di ufuk timur Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kepulauan Wakatobi, terdapat sebuah kehidupan unik yang seolah terpisah dari daratan. Di atas hamparan laut biru, berdirilah rumah-rumah kayu berjejer rapi di atas tiang-tiang pancang. Inilah permukiman Suku Bajo—sebuah komunitas maritim yang sejak ratusan tahun silam dikenal sebagai pengembara laut.
Berjalan di atas jembatan kayu yang menghubungkan rumah-rumah itu, suara riak air menjadi musik latar sehari-hari. Anak-anak Bajo berlari tanpa takut terjatuh ke laut, bahkan sebagian besar dari mereka lebih fasih berenang ketimbang berjalan di darat.
Rumah-rumah mereka sederhana, berdinding papan, beratapkan seng atau daun rumbia, namun memiliki nilai simbolis: laut adalah halaman, dan perahu adalah kaki yang membawa mereka ke mana pun.
Laut sebagai Nadi Kehidupan
Bagi Suku Bajo, laut bukan sekadar ruang hidup, melainkan juga identitas. Mereka menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan, teripang, hingga lobster. Dengan perahu kecil yang mereka sebut soppe, para lelaki Bajo berlayar sejak dini hari, sementara perempuan menyiapkan hasil laut untuk dijual atau dikonsumsi.
Tak hanya untuk mencari nafkah, laut juga menjadi ruang sosial. Di sanalah mereka menggelar hajatan, bercengkerama, hingga menyampaikan tradisi lisan yang diwariskan turun-temurun.
Tradisi dan Keyakinan
Suku Bajo memiliki tradisi kuat yang merefleksikan hubungan spiritual dengan laut. Mereka percaya laut harus dijaga, sebab di dalamnya bersemayam ruh-ruh leluhur. Beberapa ritual, seperti maccera tasi (penyucian laut), dilakukan sebagai bentuk penghormatan sekaligus doa agar hasil laut melimpah dan terhindar dari marabahaya.
Meski kini modernisasi perlahan masuk, sebagian besar Suku Bajo masih berpegang pada kearifan lokal dalam mengatur kehidupan, mulai dari cara menangkap ikan yang ramah lingkungan hingga aturan adat tentang pernikahan dan persaudaraan.
Wajah Baru Bajo di Era Wakatobi
Seiring ditetapkannya Wakatobi sebagai taman laut nasional dan destinasi wisata dunia, permukiman Bajo mulai dilirik wisatawan. Kehidupan mereka yang unik, gaya hidup di atas laut, serta keramahan dalam menyambut tamu, menjadi daya tarik tersendiri.
Bagi sebagian wisatawan, menginap di rumah panggung Bajo, menyantap ikan segar hasil tangkapan pagi, atau menyelam bersama anak-anak Bajo yang piawai menunjukkan “rumah” bawah laut mereka, adalah pengalaman yang tak terlupakan.
Harmoni yang Dijaga
Di tengah gempuran modernisasi, tantangan terbesar Suku Bajo adalah menjaga harmoni dengan alam. Laut yang memberi kehidupan harus tetap lestari, meski tekanan ekonomi dan eksploitasi sumber daya kian besar.
Namun, satu hal yang tidak berubah: identitas mereka sebagai manusia laut. Suku Bajo di Wakatobi tetaplah penjelajah samudera yang memilih menetap di atas air, membuktikan bahwa rumah bukan hanya di darat, melainkan di mana hati dan tradisi berpaut pada laut.
Tinggalkan Balasan