
Foto: ANTARA
Kasus gagal ginjal akut pada anak bukan kasus biasa dan tidak bisa diremehkan. Apalagi jika melihat tingkat kematian pada penderitanya sangat signifikan hingga mencapai 57,6 persen. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diminta segera meneliti penyebab kasus gagal ginjal akut pada anak tersebut.
Penulis : Isa Anshori

Obat-obatan sirup dengan cemaran pelarut melebihi kadar yang mampu ditoleransi tubuh beredar di pasaran. Sebelumnya, kasus ini tanpa diketahui industri farmasi dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Ini bukan suatu yang kebetulan karena kasusnya pernah terjadi di banyak negara. Mengutip laporan penelitian sirup paracetamol mengandung dietilen glikol yang dilansir American Medical Association tahun 1998, bahwa kasus keracunan akibat dietilen glikol telah dilaporkan terjadi di beberapa negara seperti, Bangladesh, Argentina, Haiti, Nigeria, dan Afrika Selatan, yang terjadi karena kesalahan farmasi dalam pembuatan paracetamol.
Lalu, dilaporkan juga di India setelah konsumsi glycerin yang terkontaminasi. Berdasarkan penelitian pada tahun 1996, para ahli telah mengidentifikasi 109 kasus gagal.
Anak-anak yang mengonsumsi sirup itu mengalami sindrom klinis gagal ginjal, hepatitis, pankreatitis, gangguan sistem saraf pusat, koma, hingga kematian.
Kasus gagal ginjal akut pada anak mengalami lonjakan dalam tiga bulan terakhir. Per 24 Oktober, Kementerian Kesehatan melaporkan setidaknya 255 kasusnya tersebar di 26 provinsi Indonesia, dengan jumlah kematian 143 anak.
BBC News Indonesia menulis, kasus ini diduga berkaitan dengan tingginya cemaran dari pelarut obat sirup yang menyebabkan pembentukan kristal tajam di dalam ginjal.
Hampir semua obat jenis sirup mengandung zat pelarut. Zat pelarut digunakan agar sirupnya homogen, tak ada gumpalan. Pelarut obat sirup ini antara lain propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, gilserin/gliserol.
Namun, dalam setiap proses pembuatannya, pelarut ini mengeluarkan zat kimia yang tak diharapkan [cemaran]. Ibaratnya kemunculan asap ketika seseorang memasak sesuatu.
Zat cemaran dari pelarut itu adalah etilon glikol (EG), dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol butil ether (EGBE). Ketiga zat ini sudah pasti muncul, akan tetapi kadarnya tak boleh melebihi ketentuan.
BPOM menyatakan kadar tiga senyawa ini tak boleh dikonsumsi melebihi 0,5mg per kilogram berat badan per hari karena akan menjadi racun.
Orang yang mengkonsumsi melebihi ketentuan ini berisiko mengalami gangguan ginjal, karena ketiga senyawa tersebut memicu asam oksalat dalam tubuh dan selanjutnya membentuk kristal tajam di dalam ginjal.
Tapi kenyataannya, obat-obat sirup dengan cemaran melampaui ambang batas ini beredar di apotik, puskesmas, rumah sakit, toko-toko, meski telah memiliki stempel BPOM—yang menjelaskan obat ini aman dikonsumsi. Akibatnya ratusan anak meninggal akibat gagal ginjal setelah mengonsumsinya.
Data Kementerian Kesehatan menyebut hingga 23 Oktober 2022 kasus gagal ginjal akut pada anak meningkat hingga 245 kasus di 26 provinsi.
Tingginya tingkat kematian atas gagal ginjal akut pada anak, membuat Kementerian Kesehatan mengambil kebijakan mengimpor fomepizole obat penyembuh dari Singapura dan Australia.
Sementara Dicky Budiman epidemiolog dari Universitas Griffith Australia menegaskan, kita kecolongan. Karenanya deteksi dini itu penting. “Ini masalah jiwa, kita kecolongan, tapi bukan berarti kegagalan itu kita biarkan. Dengan menyatakan KLB, pemerintah bisa segera memperbaiki, kalau ada yang tidak teridentifikasi bisa fatal ya,” kata Dicky.
Anggota Komisi IX F-PKS DPR RI Netty Prasetiyani Aher meminta pemerintah segera membentuk tim gabungan independen pencari fakta (TGIPF) untuk mengusut tuntas kasus gangguan ginjal akut yang sebabkan ratusan anak meninggal.
Menurut Netty, pembentukan tim TGIPF menjadi penting, karena sudah ratusan yang meninggal, tapi informasi soal kasus tersebut masih amat terbatas.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menduga racun dalam obat sirup itu muncul saat dibuat di dalam pabrik.
Farmakolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Nafrialdi juga melihat ada kemungkinan masalah ini timbul saat proses produksi obat.
“Itu kan kualitas pembuatannya itu. Kualitas pabriknya apakah bisa mengerjakan dengan bersih atau tidak. Quality control-nya, apakah diukur cemaran-cemaran itu. Itu saja kuncinya,” kata Nafrialdi seperti dikutip BBC News Indonesia.
Sementara itu, Kepala Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN, Masteria Yunovilsa Putra meyakini setiap industri farmasi memiliki proses pengecekan kualitas produk (Quality Control/QC) dan syarat kualitas (Quality Assurance/QA) yang memadai dengan laboratorium yang mumpuni.
“Industri pasti tidak main-main dengan hal itu,” kata Masteria kepada BBC News Indonesia.
Tapi persoalannya kenapa sampai bisa obat yang beredar justru menjadi racun? Ini yang harus ditelusuri dari sumber bahan bakunya sampai proses produksinya, kata Masteria.
Tinggalkan Balasan