Indonesia saat ini sedang dalam proses politik menghadapi Pemilu. Semua agenda pesta demokrasi telah dilaksanakan sesuai tahapannya, termasuk debat pasangan calon (paslon) Capres-Cawapres yang banyak menyedot perhatian publik. Agenda lainnya seperti safari politik ataupun penyampaian orasi di hadapan massa konstituennya, bisa sangat menyita waktu.Kelelahan fisik ataupun psikis, pasti bisa menimpa paslon dan tim suksesnya. Tidak mudah dibayangkan, bagaimana para politikus tersebut bisa mengatur waktu istirahat atau tidur mereka.
Kelelahan menghadapi agenda politik, tidak hanya terjadi di negara kita saja. Hampir semua kandidat pemimpin dunia, baik yang akhirnya terpilih ataupun yang tidak, pasti pernah mengalaminya. Tidak sedikit politisi dunia yang pernah tertangkap kamera sedang tertidur, saat menghadiri agenda sidang/rapat-rapat politik. Bila itu terjadi di Indonesia, bisa dicap berperilaku buruk yang tidak patut dicontoh. Kelelahan dan minimnya waktu tidur, dapat memicu kegagalan memfokuskan diri menghadapi suatu masalah.“Hutang tidur” pada politikus,berpotensi memantik terjadinya “blunder” dengan segala konsekuensinya.
Sebagai analogi adalah kecelakaan lalu lintas. Kantuknya pengemudi, sering disebut sebagai biang penyebabnya.Mereka mengalami microsleep, “tertidur” hanya dalam hitungan detik, namun bisa berakibat fatal. Sulit dibayangkan, apa yang terjadi bila seorang pilot menerbangkan pesawatnya dalam kondisi mengantuk. Untungnya selalu didampingi pilot pengganti ataupun co-pilot yang akan selalu membantu mengamankan penerbangan.
Tidur bisa dimaknai dari berbagai macam sudut pandang. Di Jepang misalnya.Rakyat negeri Matahari Terbit itu, dikenal memiliki jam kerja paling panjang di seluruh dunia. Rata-rata bisa menghabiskan lebih dari 12 jam dalam sehari untuk bekerja. Di sisi lain mereka juga “menyempatkan” diri untuk “tidur”, saat di tempat kerja. “Anehnya” hal itu tidak dinilai sebagai pemalas. Sebaliknya justru dilegalkan. Karyawan tersebut malah dianggap sebagai pekerja keras dan dinilai sebagai bentuk loyalitas terhadap tempat kerjanya.Fenomena “langka”itu disebut inemuri. Jangan bayangkan inemuri dilakoni dengan tidur di sofa empuk, atau tempat tidur yang disediakan secara khusus. Ternyata hanya dengan posisi duduk, badan tetap tegap, dan mata terpejam, mereka bisa melakukannya.Tetapi terhadap politisinya, sikap publik bisa sangat berbeda. Kritik pedas masyarakat berupa seruan mengundurkan diri, dapat terjadi pada politikus yang tertidur saat rapat.
Di Tiongkok, ada jeda waktu yang mewajibkan siswa Sekolah Dasar untuk tidur sejenak di kelas. Fenomena unik itu disebut Wu Jiao. Upaya mereduksi risiko penyakit kardiovaskuler, menjadi pertimbangan utama penerapan kebijakannya. Tetapi pejabat atau birokratnya akan dijatuhi sangsi berat, bila tertidur dalam suatu pertemuan resmi.
Power nap atau “tidur-tidur ayam”, dinilai penting untuk memulihkan kebugaran. Meski durasinya sangat singkat, biasanya tidak lebih dari20 menit, tetapi manfaatnya terbilang sangat besar. Bisa memperbaiki memori, sehingga dapat meningkatkan performa belajar/bekerja seseorang. Konon presiden Amerika Serikat seperti John F Kennedy, Ronald Reagan, dan George W Bush, sering memanfaatkan pola tidur semacam itu.
Fenomena “hutang tidur”
Telah banyak riset yang dilakukan untuk mengungkap dampak “hutang tidur” terhadap aspek fisiologis dan psikologis. Misalnya pengaruhnya pada sistem imun, aspek kognitif, suasana hati/mood, cara berkomunikasi, ekspresi wajah, pengendalian emosi, dan bahkan keputusan politik yang akan diambilnya. Risiko lainnya dapat berupa kurang fleksibel dalam mengubah suatu rencana/keputusan atau kurang mampu menghadapi suatu tantangan/hambatan yang sifatnya tak terduga.
Kadang kala politikus dihadapkan pada masalah yang harus memerlukan respons cepat, tetapi harus tepat. Bahkan persoalan darurat sekalipun, perlu mendapatkan solusi segera dalam situasi tekanan psikologis yang tinggi. Meski demikian, tidak sedikit politikus yang mampu menyesuaikan diri terhadap tantangan “hutang tidur”. Dianggapnya hal itu bukanlah masalah serius. Mekanisme terbentuknya homeostasis atau penyesuaian diri terhadap tantangan tersebut, bisa dilakukan melalui suatu kompensasi dengan cara-cara tertentu. Sifatnya sangat personal. Diperlukan “latihan” menghadapi situasi sulit yang bisa jadi merupakan rutinitas dan berlangsung sejak lama. Selain dipengaruhi tidur, karakter kepemimpinan yang diekspresikannya, dikaitkan dengan beberapa faktor lainnya. Misalnya unsur genetik, pola hidup, dan “jam terbangnya” sebagai politikus.
Tidur merupakan fenomena biologi yang secara alamiah terjadi pada setiap manusia. Sejatinya tidur merupakan investasi energi yang dibutuhkan manusia, untuk digunakan secara efektif esok harinya. Selama fase tidur, energi yang telah dimanfaatkan semua sel dan jaringan tubuh manusia, akan “disetel” kembali. Saat itulah “sampah” metabolik mendapat kesempatan untuk dibersihkan, hingga tercapailah keseimbangan nutrisi yang baru (homeostasis). Durasi pembersihan “sampah” metabolik yang kurang mencukupi, berisiko memicu beragam masalah. Dapat memantik terjadinya sakit kepala, mudah lelah, berbohong, gampang terprovokasi, serta berkurangnya tingkat konsentrasi dan performa terhadap suatu tantangan. Bila terjadi dalam kurun waktu yang lama, berisiko tinggi mengganggu faal berbagai organ, termasuk mempercepat terjadinya demensia.
Semua orang tanpa kecuali, pasti membutuhkan tidur. Perbedaannya hanya terletak pada tingkat pemenuhannya.Artificialintelligence (AI) pun tak bisa menggantikannya, meski dapat membantu seseorang untuk bisa tidur lebih nyenyak. Tanpa tidur yang cukup, seseorang tidak akan bisa berumur panjang. Idealnya setiap individu memiliki siklus biologi tidur yang bersifat reguler (ritme sirkadian). Namun tidak semua orang bisa melakukannya dengan mudah. Ada yang demikian entengnya bisa cepat tertidur pulas. Sebaliknya tidak jarang terjadi, membutuhkan “perjuangan keras” untuk bisa “menikmati” waktu tidur. Faktor fisik ataupun non-fisik, misalnya adanya penyakit komorbid dan tekanan psikis, bisa saling memengaruhi. Kebutuhan tidur “normal”, setidaknya memerlukan waktu enam hingga delapan jam per harinya. Tidak hanya menyangkut kuantitas, namun kualitas tidur juga sangat menentukan tingkat “pengendalian diri”dan mood seseorang.
Neurotransmiter pengendali tidur
Beberapa transmiter susunan saraf pusat, berperan penting mengendalikan mekanismenya. Transmiter adalah senyawa “pembawa pesan” yang bertugas menghubungkan hampir seratus miliar sel-sel saraf (neuron). Beberapa di antaranya adalah melatonin, orexin, dopamin, dan serotonin. Melatonin berperan dalam ritme biologi, regulasi tekanan darah, dan sistem imunitas. Di sisi lain, orexin berperan memperantarai kendali tidur, metabolisme energi, gairah, dan mood seseorang. Senyawa yang aktif pada siang hari itu, bekerja dengan merangsang transmiter lainnya yang berperan meningkatkan “kewaspadaan”.
Ada suatu fakta menarik, bahwasanya kadar transmiter tersebut berbanding terbalik dengan semakin meningkatnya usia. Dengan bertambahnya usia, kadar melatonin dan orexin akan menurun. Efeknya bisa memantik terjadinya “lambat respons”, gangguan memori, dan insomnia. Dapat pula menimbulkan kecemasan serta gangguan stabilitas emosi. Pada level tertentu, bisa memicu lepasnya kendali terhadap masalah etika. Aspek tidur merupakan kecerdasan manajemen pribadi politikus. Dalam sekala yang lebih luas, bisa mencerminkan pola manajerial kepemimpinannya.
—-000—-
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan