Surabaya (Trigger.id) – Setiap ibadah selalu memiliki dimensi vertikal dan dimensi horizontal.
Dimensi vertikal adalah aspek teosentris/ketuhanan, sedang horizontal adalah aspek antroposentris/kemanusiaan. Dimensi vertikal ibadah puasa berupa pengendalian diri dari segala bentuk hasrat duniawi, baik berupa makanan, minuman dan kenikmatan seksual untuk melebur kepada kenikmatan sejati bersama Allah Swt, sumber dari segala kenikmatan.
Sedangkan dimensi horizontal ibadah puasa adalah persamaan (egalitarianisme). Semua orang Islam kaya maupun miskin harus menahan lapar, dahaga dan nafsu lainnya dari sejak fajar sampai terbenamnya matahari. Orang yang dirumahnya penuh stok makaman dan minuman dengan oang miskin yang sama sekali tidak punya ransum makanan, sama-sama harus merasakan lapar demi mencapai ridha Allah Swt. Turunan dari prinsip pesamaan ini adalah terbentuknya empati sosial untuk memperjuangkan persamaan hak umat atas semua aspek, baik ekonomi, politik, sosial budaya, dan sebagainya.
Perintah dan kewajiban berpuasa, sebagaimana difirmankan Allah Swt. terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Jika diteliti dan direnungkan secara mendalam makna ayat tersebut, akan dapat dipahami bahwa ibadah puasa yang hanya diwajibkan (idiom ushul fiqh, mafhum mukhalafah) kepada orang yang beriman adalah untuk mencapai ketaqwaan. Jadi taqwa merupakan target yang akan dicapai dari perintah dan kewajiban berpuasa bagi orang-orang yang beriman.
Selain itu, ketika menetapkan kewajiban berpuasa, al-Qur’an tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datang dari Allah, tetapi redaksi yang digunakannya dalam bentuk pasif: ”…diwajibkan atas kamu berpuasa…”. Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa puasa tidak harus merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah Swt, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkannya atas dirinya pada saat ia menyadari banyaknya manfaat dan nilai-nilai pendidikan dengan diwajibkannya puasa itu, karena puasa menjadikan hidup kita lebih sehat, berpuasa akan menjadikan kita lebih baik, dan dengan berpuasa sebulan ramadhan akan menjadikan kita lebih terdidik.
Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan ruh ilahi. Tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani, sedangkan ruh ilahi mengantarkannya kepada hal-hal yang bersifat ruhaniah. Tidak dapat disangkal bahwa dorongan kebutuhan jasmani, khususnya fa’ali (makan, minum, dan hubungan seks) menempati tempat teratas, daya tariknya sedemikian kuat sehingga tidak jarang orang terjerumus. Seseorang yang mampu mengendalikan diri, diharapkan mampu mengontrol dorongan naluriah atau nafsu lain. Dari sini dapat dipahami mengapa syarat sahnya puasa dalam Islam adalah bila ia berhasil mendidik diri guna ”menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seksual”.
Dengan demikian, perlu ada proses pelatihan, bahkan pendidikan untuk menghindari lepasnya kontrol dorongan naluri fa’ali tersebut. Salah satu media pendidikan yang sangat strategis adalah syariat ibadah puasa. Jadi, puasa ramadlan disyariatkan hakikatnya adalah untuk mendidik kita; mendidik kesehatan kita, mendidik kejujuran kita, mendidik keikhlasan kita, dan mendidik potensi pengendalian diri kita. Puasa ramadhan disyariatkan agar kita dapat mengendalikan diri, dan puasa ramadhan disyariatkan agar kita selalu optimis terhadap masa depan. ”ada dua kegembiraan (kenikmatan) yang didapatkan oleh orang yang berpuasa, sekali pada saat berbuka dan sekali pada saat menemui Tuhannya”, demikian sabda Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, tanamkan keyakinan bahwa puasa bukan beban, tetapi kebutuhan kita, menuju kebahagiaan di masa depan, dan puasa amadhan adalah kebutuhan bagi orang-orang yang beriman menuju ketaqwaan.
Dengan demikian, puasa ramadlan sebenarnya merupakan rahmat dan sekaligus kemurahan Allah Swt, bukan beban bagi kita, karena perintah berpuasa dimaksudkan sebagai media pendidikan samawi, pendidikan yang amat strategis, pendidikan yang sangat komprehensif, sehingga manusia lebih dekat kepada hakikat jati dirinya, yakni makhluq yang selalu merindukan kedekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kedekatan dengan sesama.
Mengapa?, karena puasa ramadhan memberi pengalaman ruhaniah (spiritual experiences) paling berharga bagi kehidupan manusia. Yang semula jarang bersama, selama ramadhan akan sering bahkan selalu bersama, minimal saat berbuka dan bersantap sahur. Yang semula jarang sholat berjamaah, selama ramadhan menjadi aktif berjamaah lima waktu, sholat tarowih dan witir. Yang semula kurang peka terhadap sesama, selama ramadhan akan merasa lebih peduli terhadap nasib sesama, dan bentuk amaliah lainnya. Jadi, puasa ramadhan adalah pendidikan samawi yang paling strategis dan kompehensif dalam mengembangkan energi positif manusia beriman.
Walhasil, kita dan keluarga (suami istri dan anak-anak) akan merasakan sesuatu yang baru: terasa lebih utuh karena sama-sama berupaya menggapai ketaqwaan. Namun pengalaman ruhaniah yang paling dalam dan tinggi nilainya adalah kesadaran akan kehadiran Allah Swt dalam setiap dimensi kehidupan kita. Kesadaran bahwa Allah Swt selalu hadir bersama kita, mengawasi kita dan melihat semua perbuatan kita, sehingga kehadiran kita dalam kehidupan ini akan dijalani dengan penuh makna, di mata Tuhan dan sesama. Rasanya, dengan berpuasa, energi positif kita berkembang lebih dahsyat, manfaat dan barokah. Inilah sebenarnya motivasi bagi kita disyariatkannya ibadah puasa ramadhan. ”…wa an tashûmû khairun lakum in kuntum ta’lamûn/…dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah (2): 184). Wallahu a’lam. (kai)
Prof. Dr. H. Abd. Halim Soebahar, MA Wakil Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur
Tinggalkan Balasan