
Surabaya (Trigger.id) – Ketika fajar menyingsing di ufuk timur Papua, kampung Manior di pedalaman tanah Suku Moora pernah dibangunkan oleh dentingan sakral sebuah alat: triton, atau disebut juga tabura. Alat musik tiup dari kerang laut ini bukan sekadar bunyi—ia adalah penanda hidup, penyeru jiwa, penggugah sukma, dan simbol keberadaan. Namun kini, gema tabura nyaris tak terdengar. Yang tersisa hanyalah bisu dari generasi yang kehilangan suara warisan mereka.
Tabura: Detak Jantung Tradisi
Dalam masyarakat Moora, tabura tidak hanya digunakan untuk kesenian. Ia adalah alat komunikasi penting: mengumumkan kelahiran, kematian, perkawinan, hingga panggilan perang dan perundingan adat. Ketika ditiupkan, gema tabura mampu menembus hutan, lembah, dan laut, menyampaikan pesan dengan pola tiupan yang hanya bisa dimengerti oleh warga kampung.
“Kalau kita dengar tabura, kita tahu ada yang mau bicara. Itu suara yang menyatukan kami,” tutur Yulius Nawipa, tokoh adat Manior, dengan mata menerawang jauh. “Sekarang sudah tidak ada anak muda yang bisa tiup atau bedakan suaranya.”
Hilangnya Tabura, Hilangnya Roh Komunitas
Hilangnya triton bukan semata kehilangan benda, melainkan lenyapnya roh kolektif masyarakat Moora. Dalam istilah antropolog Dr. Hermina Kalalo, “Jika sebuah alat tradisi tak lagi digunakan, itu adalah pertanda bahwa relasi antarindividu dalam komunitas itu mulai renggang. Triton adalah ‘jaringan sosial’ dalam wujud bunyi.”
Ia menambahkan bahwa banyak komunitas adat di Indonesia mengalami “malnutrisi budaya,” di mana generasi muda lebih mengenal ringtone ponsel dibandingkan bunyi alat musik leluhurnya.
Dijajah Waktu dan Globalisasi
Bukan hanya karena perubahan zaman. Masuknya budaya luar dan tekanan modernisasi telah menggeser peran tabura. Alat musik digital kini lebih diminati. Di sekolah, sejarah lokal kerap dikesampingkan. Dalam pesta dan upacara adat pun, speaker dan mikrofon menggantikan peran alat tiup tradisional.
“Anak muda malu tiup tabura. Dikiranya kuno. Padahal itu warisan. Kalau triton hilang, kita bukan Moora lagi,” kata Elsa Yomima, pegiat budaya lokal yang kini mencoba mengajarkan kembali seni meniup tabura kepada anak-anak sekolah.
Suara yang Perlu Diselamatkan
Lembaga kebudayaan seperti Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Papua telah mencatat tabura sebagai alat musik tradisional yang terancam punah. Penelitian mereka pada tahun 2021 menyebutkan bahwa hanya tersisa kurang dari 10 orang tua di wilayah Teluk Cenderawasih yang masih bisa meniup dan membuat tabura secara benar.
Pakar etnomusikologi dari ISI Yogyakarta, Dr. R. Samuel Tuharea, menyebut fenomena ini sebagai “genosida sunyi budaya.” Ia menekankan bahwa tabura adalah bagian dari literasi bunyi Nusantara yang tidak tergantikan oleh teknologi.
“Bayangkan jika tabura tak lagi dikenang, maka hilanglah suara yang pernah menyatukan suku-suku di teluk Papua. Ini bukan soal nostalgia—ini soal kebertahanan identitas,” tegasnya.
Menyulut Kembali Nyala Bunyi
Upaya pemulihan kini mulai dirintis. Komunitas pemuda adat Moora, bersama seniman dan peneliti, tengah menggagas festival “Gema Triton”, di mana anak-anak diajak belajar mengenal dan membuat tabura. Di sisi lain, pemerintah daerah Papua Barat mulai mempertimbangkan untuk memasukkan pendidikan budaya lokal dalam kurikulum muatan lokal sekolah dasar.
“Kalau tidak sekarang, tabura hanya akan jadi gambar di buku atau museum,” kata Elsa Yomima. “Kami tidak ingin dikenang karena kehilangan, tapi karena berhasil menghidupkan kembali suara kami.”
Tabura bukan sekadar alat musik. Ia adalah detak jantung peradaban yang pernah mengikat manusia dan alam dalam irama keselarasan. Jika gema itu padam, bukan hanya suara yang hilang—melainkan jejak sejarah, rasa memiliki, dan identitas sebuah bangsa. Kini, di ujung waktu, kita dihadapkan pada pilihan: membiarkan suara itu hilang, atau meniupkannya kembali untuk generasi yang lupa. (ian)
Tinggalkan Balasan