
Surabaya (Trigger.id) – Setiap manusia beriman pasti mengharapkan meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Akan tetapi, keinginan ini tidak bisa hanya keinginan belaka tanpa disertai dengan ikhtiar agar dia menjemput kematiannya secara husnul khatimah.
Kematian itu sepenuhnya adalah hak prerogatif Allah. Tidak ada manusia yang tahu kapan dia akan mati. Justru karena tidak ada manusia yang tahu kapan kematian akan terjadi, maka yang bisa dibicarakan tentang kematian adalah hukum probablitasnya. Hukum probabilitas dalam hal ini berlaku sebagai berikut: Kematian seseorang kemungkinan besar akan sesuai dengan kebiasaan dominan dalam hidupnya. Jika seseorang biasa berjudi dalam hidupnya, kemungkinan dia akan mati saat berjudi. Jika seseorang biasa sujud setiap harinya, ada kemungkinan bahwa dia akan meninggal dalam keadaan sujud. Karena ini hanya hukum probabilitas, maka masih terbuka kemunkinan lain.
“Titik akhir” kehidupan manusia sekalipun tetap terbuka sesuai dengan kehendak Allah, ia harus dipahami dalam kosep sunnatullah. Sunnatullah bergerak dalam hukum yang kurang lebih ajeg sehingga bisa dipahami oleh rasio manusia. Jika tidak ada keajegan dalam sunnatullah, maka manusia akan kesulitas menjalani hidupnya karena tidak ada hukum alam yang bisa dijadikan pegangan.
Ketika kita selalu berdoa agar meninggal dalam keadaan husnul khotimah, tetapi perilaku kita tidak mengarah kepada kebaikan, sesungguhnya kita sedang bermain-main dengan doa kita. Dalam konsep keajegan sunnatullah tadi, itu mengingkari hukum alam yang berlaku secara rasional. Karena itu, maka setiap manusia menyadari bahwa terkabulnya doa berbanding lurus dengan ikhtiar kita.
Berharap meninggal di hari dan tempat yang baik adalah hal yang disunahkan. Sekalipun demikian, hal ini tidak boleh diam-diam mengarah pada upaya-upaya untuk membunuh diri sendiri. Menurut Syekh Sayyid al-Bashri, mengharapkan kematian di tempat yang mulia sebenarnya bukan termasuk mengharapkan kematian, namun mengaharapkan sifat atau kondisi tertentu saat kematian tiba. Berharap meninggal dalam kondisi shalat bukan berarti bahwa dia sengaja tidak makan dan minum agar saat shalat dia meninggal. Berharap meninggal dalam keadaan keadaan syahid bukan berarti melakukan bom bunuh diri.
Lalu, bagaimana dengan orang yang berharap meninggal di tanah suci saat menjalankan ibadah haji? Apakah karena berharap meninggal saat melaksanakan haji kemudian membuatnya boleh melakukan tindakan-tindakan sembrono dan tak terukur yang membahayakan jiwanya?
Prosesi ibadah haji 2022 sudah usai. Beberapa rombongan jamaah bahkan ada yang sudah sampai ke tanah air. Sebagian yang lain bergerak ke Kota Madinah al-Munawarah untuk berziarah dan sowan kepada Baginda Rasulullah, untuk kemudian pulang ke Indonesia. Sejauh ini patut disukuri bahwa angka kematian jamaah haji turun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sekali lagi, hidup dan mati sepenuhnya ada di tangan Allah, namun itu tidak berarti kita tidak memiliki kewajiban berikhtiar untuk menjaga kehidupan.
Selama hidupnya, Rasulullah hanya dua kali sakit. Pertama, saat diracun Zainab binti Al-Harits. Kedua, menjelang wafatnya. Selain itu, Rasulullah selalu sehat dan bugar. Diantara tips sehat Kanjeng Nabi adalah menjaga kebersihan dan menkonsumsi makanan yang halal dan sehat (halalan-thayyiban).
Di samping berbagai ibadah mahdhah seperti shalat, Islam juga memberi tuntunan yang yang sangat detail dalam hal bagaimana manusia seharusnya menjalani hidupnya. Misalnya, Islam mengajarkan bagaimana cara membersihkan diri dari kotoran, “cebok” setelah buang air besar dan kecil. Bahkan, Islam juga mengajurkan memotong kuku tangan dan kaki. Semua ini adalah ajaran agar kita menghargai nikmat kehidupan
yang diberi Allah kepada kita.
Nabi banyak mengajarkan kita menghargai kehidupan dan dan memerintahkan kita untuk berdoa kepada Allah memohon umur yang panjang. Oleh karena itu, adalah semestinya bagi kita untuk melakukan berbagai ikhtiar yang bisa berdampak pada peningkatan kualitas kesehatan dan panjangnya umur. Tentu saja, panjangnya usia ini harus disertai dengan berbagai kebaikan dalam hidup sehingga kehidupan kita bermanfaat tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi keluarga dan masyarakat secara umum.
Ibadah haji adalah ibadah yang kompleks. Ibadah ini melibatkan berbagai hal: iman, harta, dan kesehatan. Selain tiga hal di atas, masih ada unsur lain, yaitu panggilan dari Allah. Sekaya apapun, seiman apapun, dan sesehat apapun, jika tidak dipanggil Allah, mustahil bagi seseorang untuk bisa berhaji.
Panggilan Allah ke Tanah Suci ini hal misterius, semisterius kematian yang juga merupakan “panggilan Allah”. Sekalipun demikian, cara menyikapi dua panggilan ini sangat berbeda. Untuk “panggilan” ke Tanah Suci, kita harus berusaha menyegerakan dengan segala ikhtiar kita, sedang “panggilan” kedua justru kita harus berusaha semaksimal mungkin “mengakhirkannya” agar kita bisa berkesempatan lebih lama beribadah kepada Allah.
Dalam memenuhi panggilan Allah ke Tanah Suci, ikhtiar bisa dilakukan melalui cara-cara wajar yang bisa diterima akal sehat. Misalnya, menabung, menjaga kesehatan, dan memeuhi semua hal yang bersifat administratif. Selanjutnya, kita serahkan kepada Allah. Dalam menghadapi panggilan Allah berupa kematian, kita harus memperbanyak ibadah dan sebanyak mungkin melakukan kebaikan kepada sesama manusia seakan mati besok , Terdapat sebuah hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (terlepas dari status atau tingkatannya) yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radiallahu ‘anhu yang artinya berbunyi sebagai berikut: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.”
Doa populer untuk memanjangkan umur sebagaimana yang diajarkan para kiai kita adalah sebagai berikut:
اَللّٰهُمَّ طَوِّلْ عُمُوْرَنَا وَصَحِّحْ أَجْسَادَنَا وَنَوِّرْ قُلُوْبَنَا وَثَبِّتْ إِيْمَانَنَا وَأَحْسِنْ أَعْمَالَنَا وَوَسِّعْ أَرْزَقَنَا وَإِلَى الخَيْرِ قَرِّبْنَا وَعَنِ الشَّرِّ اَبْعِدْنَا وَاقْضِ حَوَائِجَنَا فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ
Artinya : “Ya Allah, panjangkanlah umur kami, sehatkanlah jasad kami, terangilah hati kami, tetapkanlah iman kami, baikanlah amalan kami, luaskanlah rezeki kami, dekatkanlah kami pada kebaikan dan jauhkanlah kami dari kejahatan, kabulkanlah segala kebutuhan kami dalam pada agama, dunia, dan akhirat. sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Sementara, doa favorit saya dalam mencapai husnul khatimah adalah sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمْرِي آخِرَهُ، وَخَيْرَ عَمَلِي خَوَاتِيمَهُ، وَخَيْرَ أَيَّامِي يَوْمَ أَلْقَاكَ فِيهِ
Artinya: “Ya allah, jadikanlah sebaik-baiknya umurku hingga akhirnya, dan sebaik-baiknya perbuatanku hingga kesudahannya, dan sebaik-baiknya masaku hingga menjumpaimu.”
Didalam doa diatas mencerminkan adanya kontinuitas dan keistiqamahan dalam melakukan kebaikan. Dari sini kita berharap bahwa kebaikan itu pada akhirnya membawa kita pada titik akhir yang baik (husnul khatimah) saat kita menemui Tuhan di ujung usia kita.
Jadi, berharap mendapatkan husnul khatimah tidak selalu berarti harus mati di Kota mekkah karena statusnya sebagai Tanah Suci. Tanpa menafikan kesucian Kota Mekkah, jika saja berpandangan harfiyah dalam hal ini, bisa-bisa surga hanya akan diisi orang-orang ber-KTP Saudi Arabia dan para pekerja migran yang tinggal dan mati di Mekkah. Lalu, bagaimana Sunan Kalijaga, misalnya, yang berhasil menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa, yang meninggal di tanah Jawa dan seumur hidupnya tidak pernah ke Mekkah?
Banyak jalan menuju kematian husnul khatimah. Dengan kita mampu sekuat tenaga mempertahan kepantasan dan kelayakan gelar haji yang kita sandang mealui perilaku yang berakhlak mulia dan memberi kemanfaatan kepada orang lain, sejatinya kita dalam posisi nominee husnul khatimah. Haji mabrur semestinya tidak akan jauh dari dakwah dalam kebaikan dan rasa haus akan ilmu. Barang siapa meninggal dalam keduanya, insya Allah dia masuk dalam golongan mati dalam keadaan husnul khatimah.
Haji yang mabrur seharusnya menjaga setiap perilaku baik dalam hal ubudiyah dan muamalah. Dia selalu istiqamah shalat lima waktu; tidak lupa membayar zakat; rajin beramal, baik pada sanak keluarga maupun tetangga. Jika ini bisa dipertahankan hingga akhir hayat, inilah sesungguh kematian husnul khatimah.[]
Marilah para jamaah haji kita memanfaatkan momentum di tanah suci ini untuk berfikir jauh kedepan tentang apa saja yang bisa kita abdikan untuk agama bangsa dan negara kita sebagai bekal menuju alam keabadian.
Mari kita berfikir sepulang kita dari tanah suci bagaimana agar makin banyak orang orang sekitar kita mampu dan berdaya untuk berhaji atau berumrah tentu setelah mereka baik sholat nya , rajin puasanya , sudah mampu mengeluarkan zakat , tidak masalah dengan kebutuhan sehari harinya dan bisa berbagi kepada sesamanya. Mari kita kembali ke tanah air dengan sehat bugar , Kiprah nyata dari para jamaah haji sangat dibutuhkan agar makin banyak orang yang berkesempatan meraih surganya , bukannya kalo nanti disurga sendirian kita nanti kesusahan mencari anggota WA group disana ? Mari kita raih ridohNya bersama sama. (ian)
Tinggalkan Balasan