

Puasa Ramadhan, merupakan saat kontemplasi terbaik bagi saya pribadi. Banyak peristiwa di dunia ini yang bisa dipetik hikmahnya. Dari Afrika Barat-Tengah, tepatnya negara Republik Demokratik Kongo (RDK), terdengar berita memprihatinkan. Lagi-lagi wabah misterius melanda negara yang sedang mengalami krisis politik itu. Hanya dalam hitungan hari, kasusnya cepat melonjak. Korban yang tewas pun, sudah mencapai puluhan. Kecemasan melanda dunia, khususnya negara tetangga RDK. Pasalnya interval antara timbulnya gejala, hingga berakhir pada kematian, terhitung sangat singkat. Laporan menyebut, hanya sekitar 48 jam saja! Gejalanya bervariasi. Umumnya berupa demam, muntah, dan perdarahan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), segera merespons. Sejumlah sampel pemeriksaan, dinyatakan tidak terdeteksi adanya virus Ebola dan Marburg sebagai penyebabnya. Padahal manifestasinya sangat mirip dengan kedua macam penyakit yang endemis di RDK itu. Kini para pakar sedang berupaya mengungkap, apa sebenarnya etiologi wabah terbaru itu. Sementara data yang diperoleh cukup berarti. Awal munculnya penyakit, setelah korban mengonsumsi kelelawar. Ada pula hipotesis penyebab lainnya, yakni kecurigaan kontaminasi/keracunan air.
Ada banyak pandangan terkait kelelawar. Antara lain bisa ditinjau dari perspektif agama, ataupun medis. Saya bukanlah ahli bidang agama. Namun ada alasan keingintahuan saya, terhadap mamalia satu-satunya yang bisa terbang itu. Hewan nokturnal tersebut, sering disinyalir sebagai sumber penyakit zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia). Lantas bagaimana sikap seorang muslim, apakah halal mengonsumsinya?
Ternyata cukup menarik. Banyak silang pendapat tentang halal tidaknya memakan kelelawar. Ada yang mengharamkannya (Madzhab Syafii dan Hambali). Ada pula yang menyebutnya makruh, tapi tidak sampai haram. Bukan juga sesuatu yang mubah untuk dikonsumsi (Madzhab Maliki). Pro-kontra juga terjadi pada ulama dari Madzhab Hanafi. Di antara mereka, ada yang menyatakan halal. Namun pendapat lainnya menyatakan tidak halal. Wallahu A’lam Bishawab (Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran sesungguhnya).
Akankah kelelawar picu penyakit “X” zoonosis?
Kini kekhawatiran terhadap munculnya penyakit “X”, sedang ramai diperbincangkan. Hal itu pada hakikatnya bentuk kewaspadaan terhadap substansi yang belum terjadi. Sifatnya baru tataran suatu hipotesis. Nantinya memerlukan pembuktian ilmiah yang sahih. Terutama terhadap mikroba penyebab yang berpotensi memicu pandemi baru, dan belum diketahui polanya secara pasti. Namun otoritas kesehatan dunia harus selalu siap siaga, bila sewaktu-waktu harus terjadi. Perencanaan dari A hingga Z menghadapi pandemi berikutnya, merupakan wujud kewaspadaan terhadap penyakit “X”.
Banyak faktor yang patut diperhitungkan sebagai latar belakang munculnya mikroba patogen baru yang berpotensi memantik wabah. Perubahan kondisi lingkungan, merupakan faktor utama yang layak diantisipasi. Pemanasan global dan polusi, berisiko memengaruhi penularan penyakit melalui berbagai cara. Bisa jadi berkorelasi dengan musim-musim tertentu.
Persediaan air bersih yang tidak adekuat, buruknya sanitasi, masalah kelaparan, dan kecukupan gizi, berpotensi melanda sebagian penduduk dunia. Distribusi dan populasi vektor penyakit, juga sangat dipengaruhi perubahan iklim. Belum lagi dampak banjir dan bencana lingkungan yang rutin terjadi. Tegasnya, kerusakan lingkungan dan problem deforestasi hutan, perlu mendapatkan penanganan serius dari seluruh pemangku kepentingan.
Kewaspadaan terhadap penyakit zoonosis, menjadi perhatian utama. Banyak satwa liar yang secara alami sebagai inang virus, menjadi lebih intens berinteraksi dengan kehidupan manusia. Kerusakan ekosistem berada di balik persoalan tersebut. Sebagai contoh, SARS-CoV-2 (penyebab COVID-19), disinyalir ditularkan melalui kelelawar. Ada virus-virus lainnya yang juga ditularkan melalui hewan nokturnal itu. Bahkan tingkat bahayanya pun jauh melampaui COVID-19. Misalnya virus Rabies, Ebola, Marburg, MERS-CoV, dan Nipah. Ebola sudah beberapa kali mengancam dunia. Sempat memicu krisis kemanusiaan di Afrika Barat pada tahun 2014-2016. Fatalitasnya sangat tinggi. Persentase kematiannya mencapai 50-90 persen. Sebagai perbandingan, angka mortalitas global COVID-19 “hanya” 3,4 persen. Karena itu WHO menempatkan Ebola dalam sekala prioritas mitigasinya. Pasalnya hingga kini belum ditemukan obat maupun vaksinasinya.
Kelelawar memiliki “keistimewaan”. Bobotnya rata-rata tidak sampai satu kilogram. Namun suasana gelap yang selalu meliputinya setiap saat, berpengaruh pada kadar melatonin yang dikandungnya. Kadarnya justru beberapa kali lipat, dibanding melatonin manusia yang berbobot puluhan, bahkan ratusan kali lipatnya. Ekosistem kehidupan idealnya yang di dalam kegelapan gua, sangat mungkin membawa pengaruh. Berkat kandungan melatonin yang tinggi, hewan nokturnal itu dapat “menyimpan” berbagai macam virus dalam jumlah besar. Tanpa menimbulkan dampak penyakit !
Melatonin adalah hormon neurotropik. Diproduksi oleh kelenjar pineal yang terdapat di otak. Kadar melatonin pada seseorang, bervariasi dari waktu ke waktu. Puncaknya pada malam hari dan mencapai level terendah sekitar jam 7.30. Fenomena itulah yang disebut dengan irama/ritme sirkadian.
Melatonin sangat berperan dalam ritme biologi, regulasi tekanan darah dan sistem imunitas. Perannya sebagai senyawa anti oksidan, juga banyak diteliti. Produksinya dikendalikan oleh reseptor pada retina mata yang peka terhadap cahaya. Pada lingkungan yang gelap, sekresinya akan meningkat. Sebaliknya sintesisnya akan terhambat, bila terpapar cahaya.
Ada suatu fakta menarik, kadar senyawa tersebut dalam sirkulasi darah berbanding terbalik dengan bertambahnya usia. Artinya, dengan semakin meningkatnya usia, kadar melatonin semakin berkurang. Seseorang dengan gangguan tidur (insomnia), memicu efek perubahan pada level melatonin. Bila terjadi insomnia kronik, produksi senyawa tersebut menjadi sangat terganggu secara signifikan. Keadaannya persis sama dengan seseorang yang mengalami rasa cemas berkepanjangan.
Riset melatonin
Kini banyak riset yang berupaya mengungkap manfaat melatonin dari sisi medis. Terutama ditujukan untuk mengatasi gangguan tidur dan cemas. Manfaat lainnya sebagai pereda nyeri serta menurunkan tekanan darah. Senyawa tersebut berpotensi dikombinasi dengan obat-obat anti COVID-19. Diteliti juga manfaatnya sebagai imunomodulator yang dapat meningkatkan respons imun pasca vaksinasi.
Kontemplasiku menjelang berakhir. Andai kelelawar dapat berujar, ia akan menitipkan pesan kepadaku. “Wahai manusia, aku diciptakan-Nya bukan sia-sia. Tugas utamaku mengumpulkan virus-virus dan mikroba ganas lainnya dalam jumlah amat besar. Agar semuanya tidak bertebaran dan membahayakanmu.
Aku memang hina. Wajahku pun buruk. Bahkan menakutkan. Karena itu aku rela hidup di kegelapan malam dan relung-relung gua. Jauh dari lingkungan kehidupanmu. Harapanku supaya tidak bersua denganmu. Atau engkau tidak menyentuhku, apalagi harus memakanku. Tetapi hasrat makanmu memang tidak lazim. Namun aku tidak berdaya. Tapi tahukah engkau wahai manusia, bila tubuhku dirobek-robek dan engkau makan ? Virus pembawa petaka yang kusimpan akan berhamburan. Itu akan menjerat dirimu sendiri, menjadikan rumah baru baginya. Mungkin akan membuatmu sesal tanpa ujung”.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan