Surabaya (Trigger.id) – Sebulan jelang Idul Adha 1443 Hijriyah masyarakat masih merasa gamang memilih hewan ternak untuk kurban.
Meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat melalui Komisi Fatwanya telah mengeluarkan ketentuan bahwa hewan kurban terjangkit Penyakit Mulut dan Kukuk (PMK) ringan boleh disembelih, namun masyarakat masih menunggu ketentuan atau pendapat hukum lainnya.
Perumus LBMNU Jatim KH Zahro Wardi mengatakan bahwa hewan yang terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK) ringan bisa dibuat untuk sembelihan kurban.
Ia mengatakan, dalam fiqih disebutkan bahwa sakit termasuk salah satu penghambat sahnya hewan dijadikan kurban. Sementara PMK, sesuai dengan beberapa artikel dan pernyataan dokter hewan tidak sama kadar penyakitnya.
“Ada gejala permulaan (ringan), menengah, dan berat,” ungkap KH Zahro Wardi saat dihubungi NU Online Jatim, Sabtu (04/06/2022).
Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Trenggalek itu mengatakan, secara klinis hewan yang terjangkit PMK ringan seperti halnya luka di kulit, kuku, dan mulut. Ada pula yang nafsu makan berkurang tapi tidak sampai menyebabkan hewan kurus.
“Tentu, yang demikian ini masih sah digunakan untuk kurban, karena ini tergolong marod al-khofif atau sakit yang ringan dan tidak mengubah fisik hewan tersebut,” ungkapnya.
Sedangkan hewan terjangkit PMK berat bisa ditandai dengan sapi yang pincang dan kurus. Menurutnya, hewan yang demikian tidak sah digunakan untuk kurban. “Jadi, yang dimaksud al-bayyin marodhohu itu ialah hewan yang betul-betul sakit. Sakit yang berpengaruh terhadap berkurangnya daging atau menjadi kurus,” paparnya.
Ia menambahkan, dalam sebuah hadits yang tidak diperbolehkan jadi kurban ialah yang sakit dan menyebabkan cacat pada fisiknya. Seperti, kulitnya sudah mengelupas, kemudian menjadi pincang dan sebagainya.
“Sehingga perlu ada pemilihan antara penyakit PMK yang secara klinis ini ringan dengan penyakit PMK berat,” ungkap dosen pascasarjana Ma’had Ali Lirboyo, Kediri ini.
Dirinya mengungkapkan, bahwa hewan kurban ada yang telah dilakukan nadzar untuk dijadikan kurban dan ada pula yang tidak dinadzarkan. “Hewan yang asalnya saat nadzar sehat dan ketika hari H terkena PMK, maka ia masih sah digunakan untuk kurban karena termasuk nadzar yang ditentukan (ta’yin),” imbuhnya.
Komisi Fatwa MUI Jatim ini menyebutkan, dalam beberapa referensi dijelaskan apabila ada orang nadzar dengan hewan yang cacat maka mayoritas ulama menyatakan sah sebagai hewan kurban karena harus disembelih nadzarnya.
“Yang perlu diperhatikan adalah hewan yang dijadikan kurban ketika terjangkit PMK dianjurkan tetap disembelih. Namun demikian, tetap mengikuti pendapat ahli dengan tidak memakan bagian-bagian tertentu, seperti mulut, kaki, dan jeroan,” tegasnya.
“Meskipun tidak sah sebagai daging kurban bukan berarti tidak boleh disembelih. Karena ia termasuk daging yang dishadaqahkan tapi tidak memperolah pahala berkurban,” imbuhnya.Pihaknya menginginkan semua lapisan masyarakat bisa berpartisipasi dalam mencegah penyebaran PMK. Menurutnya, Dinas Kesehatan sebagai piha
k yang berwenang senantiasa jemput bola terhadap persoalan di masyarakat. “Bisa pula bekerja sama dengan pihak tertentu dengan melakukan cek kesehatan untuk memastikan hewan-hewan yang dijual belikan tidak terkena PMK. Hal ini agar masyarakat bisa tenang terkait hewan yang akan dibeli,” tandasnya. (ian)
Sumber : NuOnline
Tinggalkan Balasan