Srikandi merupakan tokoh pewayangan dalam buku Mahabharata yang mampu “menghipnotis” pembacanya. Kini dalam era modern, tokoh Srikandi bisa dianalogikan sebagai wonder woman. Dengan kekuatan, keberanian, dan kepintarannya, mampu menghadapi apa punjuga demi mewujudkan cita-citanya. Sosok perempuan feminin namun sakti itu, selalu digambarkan sebagai pemanah jitu. Dalam perang Baratayuda, pihak lawan sulit menandingi kedigdayaannya.
Dalam kisah nyata, tiga Srikandi Indonesia telah mampu menorehkan prestasi di tingkat internasional. Trio pemanah yang terdiri dari Lilies Handayani, Nurfitriyana Saiman, dan Kusuma Wardani, berhasil meraih medali perak. Peristiwa bersejarah itu, terjadi pada Olimpiade tahun 1988 di Seoul-Korea Selatan.
Kini ada trio Srikandi Indonesia lainnya yang akan berlaga dalam kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur (Jatim). Mereka bertiga sudah dikenal publik dengan berbagai macam peran dan prestasinya yang hebat.Di sisi lain,Jatim saat ini tengah dipusingkan dengan persoalan pelik pemberantasan tuberkulosis (TBC). Hingga Agustus 2024, ada sebanyak 51.548 kasus TBC di Jatim. Itu artinya menduduki peringkat kedua kasus TBC terbanyak di Indonesia, setelah Jawa Barat. Pada saat yang sama,Surabaya telah mencatat sebanyak 5.800 kasus. Angka itu sekaligus memosisikan ibu kota provinsi, sebagai peringkat pertama jumlah penderita TBC dari seluruh daerah di Jatim. Tentunya bilangan angka tadi, bukan “prestasi” yang membanggakan. Tanpa adanya komitmen yang luar biasa dari seorang kepala daerah, niscaya cita-cita eliminasi TBC pada tahun 2030, hanya jadi angan-angan belaka. Publik sangat berharap, melalui “panah kebijakan” seorang gubernur Jatim terpilih, pemberantasan TBC mampu menemui sasaran yang tepat. Siapa pun dari tiga Srikandi yang akan menduduki posisi Jatim-1, diharapkan memiliki “daya tempur” yang tinggi dalam mitigasi TBC. Cerita perang Baratayuda yang dilakoni Srikandi, kini harus beralih sepenuhnya bertempur melawan TBC.
Tantangan mitigasi TBC
Saat ini Indonesia memiliki jumlah penyandang TBC nomor dua terbanyak di dunia, setelah India. Diperkirakan jumlahnya mencapai 1.060.000 kasus. Setiap tahunnya bertanggungjawab atas134 ribu kematian penyandangnya. Besaran angka mortalitas itu, identik dengan 17 orang yang meninggal setiap jamnya akibat TBC. Sangat mungkin realitas kasus yang ada di masyarakat,jauh melampaui catatan tadi. Pasalnya persoalan TBC ibarat fenomena gunung es. Kasus-kasus yang tidak terdeteksi, bisa berjumlah hingga sepuluh kali lipat, bila dibanding yang terkonfirmasi. Mayoritas penyandangnya enggan terbuka menyangkut kondisi kesehatannya. Sering kali justru mereka mengalami stigma dan akhirnya terdiskriminasi, bila diketahui mengidap TBC oleh masyarakat di sekitarnya.
Mitigasi TBC bukan persoalan sederhana. Bahkan bisa dibilang pelik dan melelahkan.Masalahnya persoalan TBC sangat berkaitan erat dengan pengentasan kemiskinan. Sebanyak 65 persen pengidap TBC, beririsan dengan masyarakat miskin yang terdata. Secara beranting, problem kemiskinan dapat memantik terjadinya kekurangan gizi yang berisiko pada terjadinya intoleransi obat, timbulnya komplikasi, dan kematian.
Mayoritas penyandang TBC di Indonesia adalah laki-laki dengan kelompok usia45-54 tahun. Latar belakangnya banyak terkait dengan faktor kurang gizi, merokok, HIV/AIDS, penggunaan alkohol,dan diabetes. Baik perokok aktif maupun pasif, memiliki risiko berkali-kali lipat tertular TBC, dibanding individu yang tidak terpapar asap rokok. Berbagai substansi berbahaya yang terkandung dalam rokok,berdampak menekan sistem imunitas. Silia yang terdapat pada lapisan terluar saluran napas, dapat menjadi “gundul” karenanya. Silia merupakan struktur penting yang bekerja bagaikan sapu. Secara fisiologis berperan“menangkap” dan “mengusir”berbagai macam benda asing, termasuk mikroba patogen.
Prevalensi perokok aktif di Indonesia, menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan sedikitnya ada sebanyak 70 juta orang perokok aktif.Data tersebut berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023. Sebagian di antaranya (56,5 persen) merupakan kelompok perokok berusia 15-19 tahun. Sebanyak 18,4 persen lainnya, “masih” berusia 10-14 tahun. Ini realitas yang sungguh memprihatinkan.
Syukurlah Jatim saat ini telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Aturan itu baru disahkan pada 14 Agustus 2024. Regulasi tersebut dilakukan, sebagai implementasi amanat Undang-undang Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan. Legalitas lainnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012. Isinya terkait pengamanan zat adiktif berbahaya yang terkandung dalam produk-produk tembakau. Diharapkan Perda KTR dapat menjadi instrumen hukum,sebagai bagian dari upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat Jatim. Eksekusinya tinggal menunggu komitmen lembaga-lembaga terkait dalam pelaksanaannya.
Di sisi lain, Surabaya lebih cepat merespons bahaya merokok. Peraturan Wali Kota (Perwali)No.110 tahun 2021 tentang KTR, telah diberlakukan secara efektif sejak tanggal 1 Juni 2022.Hanya saja baru diterapkan pada area tertentu saja. Misalnya pada sarana kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah, angkutan umum, dan tempat-tempat kerja. Sayang sekali implementasi Perwali tersebut belum efektif. Sangsi yang kurang tegas, menjadi salah satu penyebabnya. Budaya, kesadaran, dan ketaatan terhadap hukum masyarakat, dipandang masih lemah.
TBC di tempat kerja
Pekerja yang menderita TBC, memiliki hak dan kewajiban tertentu. Itu diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No.13 tahun 2022. Setiap tempat kerja,harus berkomitmen menanggulangi TBC bagi karyawannya yang terpapar. Langkah-langkah penghapusan stigma dan diskriminasi, harus diupayakan secara maksimal.Mereka wajib mendapatkan pengobatan sesuai dengan pedoman penanggulangan TBC Nasional. Pimpinan tempat kerja dapat memberikan waktu istirahat. Jangka waktunyaselama dua minggu pada awal pengobatan, dan/atau sesuai rekomendasi dokter. Tujuannya untuk mencegah penularan. Bagi individu yang terpapar TBC, tidak diperkenankan untuk diberhentikan secara sepihak oleh pimpinannya.
Sayang sekali belum terdapat aturan sangsi, bagi perusahaan yang tidak menerapkan Permenaker tersebut. Demikian pula belum ada keterangan secara jelas, bagaimana mekanisme pengawasan terhadap implementasi regulasinya di perusahaan.
Mitigasi TBC memerlukan kolaborasi dari berbagai pihak. Diperlukan dukungan dari pemangku kebijakan, pakar terkait, peneliti, akademisi, aktivis, komunitas, penyintas, perusahaan, dan media massa. Terpilihnya Srikandi Jatim-1 pada Pilkada, diharapkan dapat menjembatani dan mengharmonisasi semua kepentingan tersebut.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di :Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan