WHO menyatakan bahwa Covid-19 masih merupakan “kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional”.
Oleh: dr. Ari Baskoro, Sp.PD-KAI (Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr.Soetomo –Surabaya)
Sejak Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi pada 11 Maret 2020 oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), banyak kejadian mencengangkan yang tidak terprediksi sebelumnya.
Kini tiga tahun sudah Covid-19 telah memberikan pelajaran yang “sangat keras”.Dampak pandemi dari waktu ke waktu tidak hanya menimbulkan korban jiwa. Kerugian material yang sangat besar, berimplikasi pada aspek sosial, pendidikan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.Masyarakat dunia harusnya mampu memetik hikmah yang terkandung dari tragedi kemanusiaan, sebagai upaya menyongsong masa depan kehidupan yang lebih cerah.
Baru-baru ini WHO menyatakan bahwa Covid-19 masih merupakan “kedaruratan kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional”. Situasi tersebut dinilai sebagai satu level di bawah pandemi. Artinya dunia saat ini masih berada pada satu titik transisi. Peralihan dari pandemi menuju endemi.
Hingga saat ini, lebih dari 681 juta warga di seluruh dunia telah terpapar virus maut itu. Hampir 6,9 juta jiwa di antaranya tidak tertolong. Amerika Serikat merupakan negara yang terkena dampak terberat pandemi Covid-19. Lebih dari 105 juta penduduknya terpapar virus tersebut. Angka kematiannya sudah tembus lebih dari 1, 1 juta jiwa. Negara kita berada pada peringkat ke-20 jumlah kasusnya.Hingga 11 Maret 2023, angka terkonfirmasi positif Covid-19 telah menyentuh 6.738.844 kasus. Merenggut korban jiwa hingga 160.945 orang. Angka mortalitasnya sebesar 2,4 persen. Masih lebih tinggi dibanding angka mortalitas dunia yang mencapai sekitar satu persen. Bilangan tersebut diperkirakan akan terus bertambah, meski tidak sedrastis seperti pada saat puncak pandemi.
Seiring berjalannya waktu,dampak pandemi diprediksi akan terus melandai. Saat ini angka kejadiannya sudah 20-30 kali lebih rendah,dibanding setahun yang lalu. Masih ada sekitar 150 ribu kasus terkonfirmasi positif Covid-19 per hari di seluruh dunia. Di antara jumlah tersebut, menyebabkan kematian sebanyak 900 hingga seribu orang per hari.Tidak sedikit para ahli yang meragukan validitas data yang telah disampaikan itu. Sangat mungkin realitas di lapangan lebih dariangka-angka tersebut.Ada beberapa negara yang“tertutup” dan “merekayasa” data yang sebenarnya. Hal itu demi kepentingan martabat dan politis tertentu.
Menurut WHO, saat ini setidaknya 90 persen populasi global telah memiliki tingkat kekebalan tertentu yang bervariasi terhadap virus Covid-19. Imunitas bisa terbentuk melalui paparan alamiah (pada penyintas), ataupun melalui vaksinasi.Tetapi bagi orang-orang dengan “kondisi khusus”, Covid-19 masih merupakan ancaman yang harus tetap diwaspadai. Peringatan tersebut berdasarkan atas riset epidemiologi yang dilakukan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat,bersama dengan WHO. Dinyatakan sebanyak 80 persen kematian global terkait pandemi, terjadi pada usia di atas 60 tahun.
Nantinya situasi tersebut harus bisa dibaca sebagai model pengelolaan pandemi yang sifatnya lebih personal. Antara satu individu dengan individu lainnya, mempunyai tingkat risiko yang berbeda. Demikian pula antara satu negara dengan negara lainnya. Penekanan pada aspek pencegahannya pun, tidak bisa disamaratakan. Khususnya menyangkut vaksinasi.
Capaian vaksinasi
Selain patuh terhadap protokol kesehatan, vaksinasi masih menjadi tulang punggung pengendalian dampak pandemi. Walaupun tidak dapat 100 persen mencegah terjadinya penularan, modalitas preventif itu terbukti sangat efektif dalam menekan risiko fatalitas penyakit.
Menilik perbandingan jumlah total cakupan vaksinasi warga Indonesia dengan masyarakat dunia, bisa memicu suatu pertanyaan. Sebanyak 71 persen populasi dunia telah mendapatkan sedikitnya satu kali vaksinasi. Hanya sekitar 65 persen yang telah mendapatkan vaksinasi lengkap (dua kali vaksin). Cakupan vaksinasinya semakin jauh mengecil, bila dikaitkan dengan capaian booster.
Harusnya negara kita bisa berbangga.Tepat tiga tahun pandemi, vaksinasi dosis lengkap sudah menyasar 74,74 persen penduduk. Untuk booster pertama dan kedua, masing-masing telah mencakup 37,78 dan 1,65 persen.Sebagai segmen populasi yang paling berisiko tinggi bila terpapar Covid-19, angka vaksinasi pada lansiamasih belum menggembirakan . Booster pertama baru tercapai 33,89 persen. Untuk booster kedua, baru mencakup 2,73 persen penduduk di atas usia 60 tahun (lansia).
Capaian vaksinasi Indonesia dinilai sangat lambat. Bahkan bisa dikatakan stagnan. Sejak dicanangkan pada 12 Januari 2022, booster pertama masih jauh dari target yang diharapkan. Apalagi berbicara soal booster kedua. Pemerintah telah mencanangkan modalitas pencegahan tersebut,pada 24 Januari 2023.
Mortalitas Covid-19
Meski cakupan vaksinasi di dalam negeri melebihi rata-rata vaksinasi dunia, tetapi angka kematian justru menjadi hal yang sebaliknya. Banyak faktor terkait yang bisa memengaruhi. Lansia dan penyandang komorbid, memberikan kontribusi yang paling signifikan. Deteksi dini dan kemudahan mengakses fasilitas kesehatan yang memadai, masih menjadi kendala yang harus diperbaiki.
Data CDC terbaru menyatakan, individu dewasa yang tidak divaksinasi, memiliki risiko 16 kali lebih tinggi untuk mengalami rawat inap. Pembandingnya adalah orang-orang yang sudah mendapat booster. Sementara itu untuk seseorang berusia muda yang sehat, manfaat absolut vaksinasi booster relatif kecil. Menurut para ahli, vaksinasi booster dalam kondisi tersebut, sangat bermanfaat menekan risiko penyebaran penyakit. Terutama jika mereka hidup bersama dengan orang-orang berisiko tinggi mengalami fatalitas, bila terpapar virus Covid-19. Karena itu beberapa ahli menyarankan vaksinasi booster nantinya didasarkan atas indikasi personal.
Pada prinsipnya masalah jangka panjang yang fluktuatif dan dinamis dalam menghadapi Covid-19, tergantung pada interaksi dua hal. Satu sisi selalu munculnya berbagai virus varian baruyang lebih kebal terhadap antibodi. Di sisi lain, imunitas pasca vaksinasi ataupun setelah paparan alamiah (penyintas), akan melandai seiring dengan berjalannya waktu. Pada umumnya level antibodi,maksimal hanya akan bertahan sekitar enam hingga delapan bulan saja.Diperlukan vaksinasi booster untuk membentuk imunitas yang lebih protektif lagi.
Di sisi lain, sejak pertama kalinya muncul di Wuhan-China, hingga kini telah dikenal beberapa varian virus Covid-19. Ada varian Alfa, Beta, Gamma, Delta, hingga varian Lambda. Tata nama ini merujuk pada abjad Yunani. Tetapi yang menghebohkan dunia adalah varian Delta dan Omicron. Varian Delta telah mencetuskan gelombang kematian yang tinggi . Saat ini varian Omicron telah “beranak pinak”, menghasilkan berbagai subvarian/”keturunan”. Varian virus ini dikenal luas memiliki daya tular yang tinggi. Kemampuan menghindar dari sergapan antibodi pun juga terus berkembang di antara “keturunannya”. Tetapi “untungnya” tidak seganas varian Delta. Hampir 100 persen kasus Covid-19 di seluruh dunia, saat ini didominasi oleh varian Omicron.
Kebijakan fase peralihan
Kebijakan relaksasi/pelonggaran di berbagai negara yang tidak seragam, akan berdampak pula pada risiko munculnya pertambahan kasus-kasus baru. Walaupun mungkin tidak akan setinggi periode waktu yang telah berlalu.Relaksasi secara bertahap, diprediksi akan mampu menekan angka pertambahan kasus dengan puncak yang lebih rendah. Demikian pula tingkat vaksinasi suatu negara yang setidaknya di atas 70 persen, sangat membantu menekan gelombang baru yang lebih besar.
Selama status pandemi Covid-19 belum dicabut, pembiayaan vaksinasi masih menjadi kewajiban pemerintah. Program pengadaan vaksin merupakan bagian dari penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Pada saatnya nanti memasuki fase endemi, sangat mungkin pembiayaan vaksin menjadi bagian dari partisipasi masyarakat secara mandiri. Hal itu dikecualikan pada masyarakat yang kurang mampu. Bisa jadi masih merupakan bagian dari pembiayaan pemerintah, melalui mekanisme Penerima Bantuan Iuran(PBI).
Bila memasuki fase pandemi, peran masyarakat diarahkan lebih dominan dalam mempertahankan kondisi imunitas. Vaksinasi booster lebih diindikasikan pada masyarakat dengan skala prioritas. Lansia harusnya menempati skala prioritas utama. Disusul orang-orang dengan sistem imunitas yang kurang sempurna atau yang memiliki komorbid. Misalnya penyandang HIV/AIDS,kanker, diabetes, penyakit ginjal, lever, penyakit kardiovaskuler, dan masih banyak lagi penyakit-penyakit kronis lainnya.Walaupun berusia dewasa muda, vaksinasi booster masih tetap diperlukan.Terutama bila mereka tinggal bersama keluarga dengan risiko tinggi. Meski sebagai individu sehat,mereka tetap berisiko sebagai pembawa virus. Hal itu harus tetap diwaspadai.
Partisipasi aktif masyarakat hanya bisa terealisasi, bila mereka dapat memahami situasi yang dihadapi. Edukasi yang berkesinambungan untuk meningkatkan literasiwarga, menjadi kata kunci keberhasilan menyongsong era transisi dari pandemi menuju endemi.
Tinggalkan Balasan