Olimpiade Paris telah usai. Kini tinggal melakukan evaluasi terhadap kontingen Indonesia. Ada sisi kebanggaan tatkala Indonesia Raya berkumandang di arena Olimpiade Paris. Dua atlet dari cabang olahraga (Cabor) yang berbeda, telah memberikan sumbangsih terbaiknya untuk negara. Emas pertama diraih Veddriq Leonardo di nomor speed panjat tebing. Tak lama berselang,secara luar biasa Rizki Juniansyah mendapat ganjaran emas dari Cabor angkat besi putra di kelas 73 kg. Dengan beban barbel 199 kg, atlet belia 21 tahun itu juga menciptakan rekor Olimpiade untuk angkatan clean&jerk. Pada sesi angkatan snatch, beban 155 kg mampu dicatatkannya. Total angkatannya yang mencapai 354 kg itulah yang membuat merah putih berkibar.
Sebelumnya Gregoria Mariska Tunjung telah berhasil mencatatkan namanya sebagai peraih medali pertama kontingen Indonesia. Capaian perunggu yang ditorehkannya itu, merupakan oase bagi atlet bulu tangkis putri. Pasalnya sejak Olimpiade Beijing 2008, negara kita belum pernah membawa pulang medali dari sektor tunggal putri. Meski demikian, target medali emas yang dibebankan pada tim bulu tangkis, menuai kegagalan.
Di luar Olimpiade, prestasi apik juga ditorehkan dari lapangan hijau. Pasukan Shin Tae Yong (STY), berhasil menuju semifinal Piala Asia U-23 untuk pertama kalinya. Tidak mau kalah dengan “seniornya”, pasukan Indra Syafri di Timnas U-19 juga merengkuh sukses. Piala AFF (ASEAN FootballFederation) 2024 dipersembahkannya untuk Ibu Pertiwi, setelah di partai final mampu menekuk lawan bebuyutannya Thailand. Pencapaian itu merupakan yang kedua kalinya bagi Garuda Muda, setelah 11 tahun silam. Pelan namun pasti, raihan prestasi Indonesia tersebut mampu menaikkan posisi negara kita di peringkat 133 FIFA. Untuk wilayah Asia, kini Indonesia menempati urutan ke-23. Banyak pihak yang memprediksi, langkah kesebelasan Indonesia di pentas dunia berpotensi masih bisa menanjak lagi.
Paradoks antara prestasi dan pensiun
Sukses yang diraih di Olimpiade, disambut euforia segenap pemangku kepentingan dan suporter Indonesia di Paris. Di dalam negeri pun, semua platform media memberitakannya dengan penuh semangat. Itu momen penghargaan yang tepat, bersamaan dengan peringatan kemerdekaan RI ke-79. Presiden Jokowi pun berjanji menganugerahkan bonus bagi pahlawan merah-putih. Penghargaan itu sangat pantas. Mestinya bukan hanya saat mereka mempersembahkan medali, tetapi harus berlanjut hingga mereka memasuki fase “pensiun”.
Tahun 1988 merupakan tonggak bersejarah keikutsertaan Indonesia dalam Olimpiade. Bagaimana tidak ? Setelah dalam kurun waktu penantian 36 tahun, untuk pertama kalinya merah putih bisa berkibar.Tiga Srikandi Indonesia, yaitu Lilies Handayani, Nurfitriyana Saiman, dan Kusuma Wardani, mampu meraih medali perak. Saat itu penghargaan atas prestasi mereka mengharumkan bangsa, datang bertubi-tubi.
Realita itu bertolak belakang saat mereka telah pensiun. Pada akhir hayat Kusuma Wardani 12 November 2023, kehidupan ekonominya serba terbatas. Apalagi setelah purna tugas sebagai ASN. Dia sempat mengalami kesulitan membiayai pengobatan terhadap sakit yang telah lama dideritanya.
Nasib Mardi Lestari tidak jauh berbeda. Semifinalis sprinter Olimpiade 1988 Seoul itu, sedang berjuang melawan penyakit kelenjar getah bening. Saat memasuki usia senja dan tanpa penghasilan, terpaksa menjual asetnya demi menopang kehidupan dan pengobatannya.
Ellyas Pical juga mengalami nasib serupa. Petinju Indonesia pertama yang pernah menyabet sabuk juara kelas bantam yunior/super terbang IBF 1985 itu, harus berjuang keras menyambung hidupnya sehari-hari. Setelah menggantungkan sarung tinjunya, atlet kelahiran Ullath-Maluku Tengah tersebut, sempat membanting tulang sebagai security di sebuah diskotik. Sempat pula bekerja sebagai office boy di kantor suatu induk organisasi. Masa kelam bahkan pernah dilaluinya pada tahun 2005, karena terlibat dalam transaksi narkoba. Film yang mengusung judul “Ellyas Pical”, menggambarkan betapa sulit kehidupannya setelah mengakhiri kariernya di ring tinju.
Kehidupan Suharto, peraih medali emas cabor balap sepeda SEA Games 1979, mungkin lebih memilukan. Dia terpaksa melakoni sebagai penarik becak selama puluhan tahun. Masih ada lagi deretan mantan atlet nasional lainnya yang dielu-elukan pada masa jayanya.Tetapi mereka merana saat pensiun dari ajang kompetisi yang pernah melambungkan nama dan negaranya.
Bagaimana seharusnya negara bersikap?
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Kisah sukses bisa kita saksikan pada para pesepak bola elite, pebasket NBA, pegolf, serta petenis profesional papan atas dunia. Mereka bisa menyandang predikat sebagai orang-orang terkaya. Saat memasuki usia senja, kehidupannya tidak akan banyak terganggu. Tetapi tidak demikian halnya dengan atlet pada cabor amatir tertentu lainnya. Itu terutama terjadi pada atlet-atlet di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Indikator kesuksesan seorang atlet, adalah saat mampu menjuarai suatu kompetisi. Itu bisa direngkuh baik di level regional, nasional, ataupun internasional. Karena itulah seorang atlet dapat mengharumkan nama suatu negara di kancah kompetisi olah raga dunia. Tidak berlebihan kiranya, bila negara berkewajiban memberikan timbal balik bagi atlet yang berdedikasi. Perhatian dan penghargaan, sudah sepatutnya diberikan. Tidak hanya pada saat mereka mencapai kejayaannya, tetapi juga pada saat tidak lagi berkompetisi.
Undang-Undang (UU) No.11 tahun 2022 tentang Keolahragaan, telah diberlakukan pada 16Maret 2022. UU tersebut sekaligus menggantikan UU Nomor 3 tahun 2005 yang belum merumuskan pendanaan hari tua bagi para atlet. Pasal 100 telah mengatur, bahwa ada perlindungan jaminan sosial nasional bagi atlet melalui peran BPJS. Besaran jaminan pensiunnya bervariasi, tergantung pada kontribusi para atlet selama masih aktif.Kini tengah disusun Peraturan Pemerintah (PP) untuk bonus dan dana pensiun atlet.
Pemerintah hendaknya memberikan edukasi tentang ilmu kewirausahaan serta pendampingannya secara reguler kepada para atlet. Itu bisa dilaksanakan di sela-sela aktivitas latihan mereka. Ilmu pengetahuan tentang kecerdasan finansial perlu dikuasai para atlet, agar bisa terhindar dari kesulitan ekonomi saat mereka “purna tugas”.
—000—
*Penulis:
- Staf pengajar senior di :Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku :Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan