Oleh Taufiqurohman, M.H.
Meminjam istilah Prof. M. Quraish Shihab, Isra’ diartikan sebagai perjalanan malam, sedangkan Mi’raj adalah alat untuk naik. Isra Mi’raj didefinisikan sebagai dua perjalanan Nabi Muhammad SAW yang terjadi dalam satu malam. Isra Mi’raj digambarkan sebagai perjalanan fisik dan spiritual (rohani) yang bersumber dari kitab suci umat Islam al-Quran surat al-Isra dan Hadis Nabi Muhammad SAW. John Renerd dalam buku In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience, menyebut sebagai perjalanan heroik menuju kesempurnaan dunia spiritual yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Berbagai macam penafsiran telah dilakukan oleh ulama, dan berbagai penjelasan ilmiah scientific telah diupayakan agar dapat memecahkan teka-teki dibalik peristiwa isra’ mi’raj ini.
Terdapat tiga pendapat mengenai Isra’ dan Mi’raj: Pertama, Nabi melakukan Isra’ dan Mi’raj bersama Jubril secara ruh dan jasad dengan kecepatan cahaya. Ibnu Ishaq meriwayatkan dari al-Hasan. Kedua, Nabi melakukan Isra’ dan Mi’raj dengan ruhnya saja, tidak dengan jasadnya. Ini adalah hadis riwayat Aisyah RA. Ketiga, Nabi Isra’ dan Mi’raj tidak dengan ruh, tidak pula dengan jasad, tetapi nabi melakukannya dalam mimpi. Ini riwayat Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Mu’awiyah adalah sekretaris Nabi dalam penulisan al-Quran. Menurut Ibnu Ishaq, riwayat yang ketiga ini tidak bertentangan dengan riwayat pertama dan kedua, sebab mimpi seorang Nabi adalah benar, seperti mimpi Nabi Ibrahim. Pernyataan ini didukung dengan firman Allah SWT Q.S.al-Isra’ ayat 60 dan surah ash-Shaffat ayat 102.
Catatan sejarah menyebutkan, peristiwa ini terjadi pada kurun tahun 620-621 Masehi atau tahun ke 10 setelah kenabian, sebelum Nabi melaksanakan keputusan untuk hijrah ke Madinah. Bukan suatu kebetulan, dalam banyak informasi sejarah, peristiwa ini didahului oleh dua momen menyedihkan yang menimpa diri Nabi secara berturut-turut. Kesedihan itu nampak setelah beliau ditinggal wafat oleh orang-orang yang memiliki pengaruh besar dalam perjalanan dakwahnya, yakni pamannya, Abu Thalib, dan istri yang dikasihnya, Khadijah. Kehilangan kedua sosok penting ini tentu membuat goncangan dahsyat bagi hati Nabi. Maka, Allah SWT berkehendak “menghibur” sang kekasih, melalui perjalanan spiritual yang dikenal dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Perjalanan mukjizat ini pada awalnya telah mengundang keraguan dan ‘desas-desus’ dikalangan masyarakat Makkah kala itu. Bagaimana tidak, jarak Mekkah-Palestina yang kurang lebih 1.500 km, zaman itu berjalan dari Mekkah memerlukan waktu tempuh sekitar satu bulan untuk sampai Palestina. Belum lagi jika kita lihat dengan pendekatan sains, manusia berjalan dengan kecepatan cahaya (300.000 KM/detik) maka tubuh manusia akan mengalami kehancuran karena saking cepatnya. Sebagai perbandingan, dengan kecepatan cahaya; untuk sampai di planet Pluto membutuhkan waktu tempuh selama 4 jam. Sedangkan Nabi dalam riwayatnya tidak hanya sampai Pluto, tetapi sudah sampai Sidratul Muntaha, yakni naik melewati langit ketujuh. Rasa-rasanya suatu yang tak mungkin dilakukan jika Nabi hanya melakukannya dalam waktu kurang dari satu malam. Namun demikian, peristiwa ini tentu saja bukan akal-akalan yang imajinatif bahkan karangan fiktif belaka, mengingat Nabi adalah pribadi yang jujur nan terpercaya. Sebab jauh sebelumnya, Muhammad kecil telah mendapat gelar ‘terpercaya’. Ya, gelar ini nabi dapatkan sebab tingkat kejujurannya di atas pada umumnya.
Isu yang berkembang di atas bak berita yang viral, sebagian orang Quraisy tak mempercayainya, bahkan menyebut cerita ini sebagai bentuk berita hoax belaka. Peristiwa inipun hampir saja tak diamini oleh sahabatnya Abu Bakar. Karena Abu Bakar pernah singgah sebelumnya, maka untuk meyakinkan dirinya, ia beranikan untuk mengklarifikasi langsung kepada sang baginda. Berkat tabayyunnya Abu Bakar inilah, setiap cerita yang disampaikan Nabi tidak pernah meleset dan sesuai dengan apa yang pernah dilihatnya. Inilah sebab musabab mengapa sahabat Abu Bakar kemudian diberi gelar “Ash-Shiddiq” (yang membenarkan), karena dialah satu-satunya orang yang begitu yakin, sangat percaya atas seluruh apa yang diceritakan Nabi Muhammad SAW.
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj yang sakral ini banyak mengandung pelajaran yang patut diambil teladannya bagi seluruh umat manusia. Pertama, senantiasa bertabayyun dalam menerima setiap kabar yang sampai kepada diri kita. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Abu Bakar kepada kekasihnya Nabi Muhammad saat mendengar peristiwa bersejarah di atas. Tujuannya, memastikan bahwa kabar tersebut benar faktanya, baik bagi yang mendengarkannya, memiliki dimensi kemanfaatan bagi semua, dan tentu sarat dengan pahala. Kedua, Isra’ yang berarti “perjalanan” dalam waktu singkat adalah cerminan perjalanan seluruh kehidupan manusia di kancah dunia ini. Betapa cepatnya waktu berputar setiap hari, tanpa dapat ditahan laju geraknya searah jarum jam, terlebih dengan kecanggihan tekhnologi yang semakin mendekatkan yang jauh dan menyingkatkan yang panjang. Tanpa disadari, tubuh mulai merasakan penuaan, rambut mengalami ‘keputihan’, usia tak muda lagi, tetiba ajal telah tiba di hadapan tuannya.
Ketiga, kehidupan manusia ibarat sebuah perjalanan, dimulai level yang terendah menuju tingkat yang lebih tinggi, ibarat manusia lahir kemudian menjadi bayi, anak, remaja, dewasa hingga tua. Setiap momen perjalanan tersebut bertemu dengan banyak orang dan pengalaman. Setiap peristiwa itu menempa kita menjadi pribadi yang semakin matang dan naik kelas. Maka, sesungguhnya dalam peristiwa Mi’raj merefleksikan diri kita semakin jauh perjalanan itu semakin menempatkan kaki ini ke tempat yang lebih tinggi. Sebab Mi’raj dimaknai dengan ‘naik ke tempat yang lebih tinggi’ atau ‘mencapai puncak tertinggi’ di luar bumi yang kita pijak.
Keempat, diceritakan dalam kitabnya Ahmad Ad-Dardiri Ala Qishshati Mi’raj bahwasanya Rasulullah SAW dalam perjalanannya setelah menjalankan sholat bersama para Nabi di Baitul Maqdis, Jibril datang dengan membawa dua cawan yang berisi susu dan arak yang segar. Rasulullah dihadapkan dua pilihan yang ditawarkan jibril, arak/khamr atau susu, kemudian Rasul memilih untuk mengambil susu. Hidup adalah pilihan, setiap kita boleh menentukan sendiri dengan bebas pilihannya. Namun perlu digaris bawahi bahwa setiap hal yang dipilih memiliki konsekuensi. Peristiwa di atas mengajarkan bahwa setiap manusia dituntut untuk menentukan pilihan dalam hidupnya, bukan sekadar dua pilihan, tiga, empat, atau lima, bahkan puluhan pilihan-pilihan. Maka, pilihlah setiap langkah hidup yang dijalani ini dengan penuh keyakinan dan pertanggungjawaban.
Kelima, Isra’ Mi’raj menjadi sangat penting karena banyaknya persitiwa di dalamnya. Di antara peristiwa saat Isra’ Mi’raj adalah nabi membawa perintah sholat, berjumpa dengan para nabi lainnya, hingga lebih dari itu, berjumpa dengan Allah SWT. Pertemuan yang merupakan dambaan setiap hamba beriman untuk bersujud langsung ‘dihadapan’ Rabbnya, yang dalam bahasa tasawuf dikenal dengan istilah hidup zuhud dan wara’. Hal ini adalah spiritualitas tertinggi, kebahagiaan yang hakiki dan cukuplah baginya, tanpa perlu hal lainnya di dunia ini. Sebab kemampuan berjumpa dengan Allah adalah bentuk keridhoan-Nya atas hamba tersebut. Akan tetapi, apakah Nabi Muhammad merasa cukup dan tak mau kembali ke bumi? Nabi kembali lagi ke bumi untuk mengemban risalah Islam dan melanjutkan dinamika perjuangan dengan berbagai tantanganya. Inilah sesungguhnya pribadi agung yang paling utama, setelah semua laku spiritual tercapai, ia tetap ingat atas tugas di dunia, yakni membangun peradaban dan membimbing umat menuju keridhoanNya.
Akhirnya, marilah kita muhasabah-kanperistiwa Isra’ Mi’raj yang sarat dengan pelajaran ini, setidak-tidaknya lima hal di atas dengan hati yang jernih, sanubari yang senantiasa khusu’ dan tunduk, serta laku tirakat yang penuh ketaatan kepada Allah SWT. Semoga setiap langkah kehidupan kita di dunia ini, selalu dimaknai dengan Isra’ dan Mi’rajnya Nabi Muhammad SAW. Wallahu’alam bishowab.
Tinggalkan Balasan