
Jakarta (Trigger.id) – Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala BKKBN, Wihaji, menyoroti pentingnya kehadiran ayah dalam pola asuh anak di Indonesia. Berdasarkan data terbaru, sebanyak 20,9 persen anak kehilangan sosok ayah, baik akibat perceraian, kematian, maupun pekerjaan ayah yang jauh dari keluarga.
“Saat ini masyarakat Indonesia mulai kehilangan sosok ayah dalam mengasuh anak di keluarga. Ayah hanya mengurus ekonomi keluarga, namun lupa mengasuh anak, padahal anak juga butuh sentuhan psikologis. Maka, jika ada kekerasan pada anak, jangan pernah menyalahkan anak,” ujar Wihaji dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu (1/2).
Dalam webinar nasional yang diselenggarakan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada Jumat (31/1), Wihaji menekankan pentingnya introspeksi bagi para orang tua dalam membangun karakter anak agar terhindar dari kekerasan.
Dampak Kehilangan Sosok Ayah
Menurut Wihaji, kehadiran ayah dalam pola asuh anak dapat mencegah budaya kekerasan yang belakangan meningkat. Ia menjelaskan bahwa anak yang kehilangan figur ayah berisiko mengalami gangguan emosi dan sosial, kecenderungan penyalahgunaan narkoba (NAPZA), performa akademik yang lebih rendah, serta hilangnya karakter kepemimpinan pada anak laki-laki akibat kaburnya identitas maskulin mereka.
“Kekerasan terhadap anak dapat dihilangkan dengan pola asuh yang baik, berdasarkan akhlak mulia berbasis pada kesadaran bersama. Untuk menciptakan generasi masa depan yang kuat, tidak cukup hanya melalui akademik, tetapi juga dimulai dengan pembentukan karakter di lingkungan keluarga,” jelasnya.
Gerakan Ayah Teladan (GATE) untuk Peran Aktif Ayah
Sebagai upaya mengatasi permasalahan ini, Kemendukbangga/BKKBN menginisiasi lima program quick win dalam rangka menjalankan Astacita Presiden dan Wakil Presiden. Salah satu program unggulan yang diperkenalkan Wihaji adalah Gerakan Ayah Teladan (GATE), yang bertujuan membangun kesadaran orang tua, khususnya ayah, untuk lebih aktif dalam pola asuh anak.
“Saat ini, sebagian besar anak lebih banyak diasuh oleh media sosial dibandingkan oleh orang tua. Mereka berjam-jam berdiskusi dan berinteraksi dengan media sosial dibandingkan ngobrol dengan orang tuanya, khususnya ayah. Bahkan, ada ayah dan anak yang duduk bersama, tetapi sama-sama asyik dengan ponselnya,” tutur Wihaji.
Ia juga menyoroti fenomena “mental generasi stroberi”, yaitu kondisi di mana anak menjadi lemah menghadapi tantangan karena 80 persen beban pengasuhan hanya diletakkan pada ibu.
“Anak menjadi lemah lunglai, tidak kuat menghadapi tantangan, dan sedikit manja. Maka, sempatkanlah waktu untuk ngobrol dengan anak,” pesannya.
Dengan adanya program GATE, Wihaji berharap para ayah dapat lebih sadar akan pentingnya keterlibatan mereka dalam kehidupan anak-anak, sehingga generasi masa depan Indonesia tumbuh dengan karakter yang lebih kuat dan tahan banting. (ian)
Tinggalkan Balasan