

Diprediksi sedikitnya 110 juta orang akan melakukan perjalanan, dalam rangka libur Nataru 2025. Jumlah itu meningkat 2,8 persen, bila dibandingkan libur Nataru setahun yang lalu. Meski pihak terkait telah mempersiapkan dengan saksama segala sarana dan prasarana, risiko medis tidak mudah diperhitungkan. Pasalnya sejarah kelam arus mudik di negeri ini pernah terjadi. Peristiwa Brebes Timur (“Brexit”) tahun 2016, meninggalkan trauma mendalam. Bagaimana tidak?. Bencana kemacetan lalulintas hingga berpuluh-puluh kilometer yang terjadi, menelan korban nyawa hingga 17 orang. Angka itu belum termasuk jumlah korban akibat kecelakaan lalulintas (KLL), saat mudik lebaran pada tahun yang sama. Berdasarkan data yang dirilis Mabes Polri, angka KLL terhitung 856 kejadian. Di antaranya korban tewas mencapai 172 orang. Banyak faktor yang melatarbelakangi , sehingga risiko medis memilukan itu harus terjadi. Tentu semua pihak terkait tidak ingin peristiwa nahas itu berulang kembali.
Banyak fakta mengejutkan terkait KLL. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2023, sekitar 1,19 juta orang tewas setiap tahunnya akibat KLL. Kasus yang mengalami cedera dan cacat, mencapai 20-50 juta per tahunnya di seluruh dunia. Sekitar 65 persen korbannya, menimpa usia produktif antara 18-59 tahun. Tingkat pendidikan dan ekonomi suatu negara, merupakan faktor yang bisa membawa risiko KLL. Data menunjukkan, sebanyak 92 persen kematian akibat KLL terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Padahal jumlah kendaraan di negara-negara tersebut, hanya berkontribusi sekitar 60 persen dari total jumlah kendaraan di seluruh dunia.
Ternyata mortalitas dan morbiditas akibat KLL di Indonesia tak kalah mengagetkan. Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 merilis, korban meninggal mencapai 28.131 orang. Luka berat dan ringan hampir mencapai 175 ribu kasus, dalam waktu satu tahun.
Baca juga: Penyakit “Misterius”, Hikmah Berharga Dari Kongo
Faktor polusi udara
Mayoritas pemudik diproyeksikan menggunakan jalur darat. Tidak diragukan lagi, kemacetan lalulintas berdampak signifikan pada buruknya kualitas udara. Emisi gas buang kendaraan, berdampak sangat merugikan bagi pengemudi dan penumpangnya. Pada situasi macet, tingkat polusi bisa mencapai 30 kali lipat, dibanding saat kendaraan melaju dengan lancar. Polutan yang terakumulasi, memantik semakin lamanya paparan pada semua orang di area tersebut. Penumpang modalitas transportasi udara, laut, ataupun kereta api, berisiko jauh lebih kecil terpapar polutan. Karena itulah penumpang kendaraan yang mengakses jalan raya, harus lebih mempersiapkan diri terkait kesehatannya.
Berbagai komponen polutan gas buang kendaraan bermotor, berpotensi membahayakan kehidupan manusia. Di antaranya adalah particulate matter (PM), karbon monoksida (CO), ozon (O3), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), dan timah hitam (Pb).
Istilah PM, merujuk pada campuran partikel padat dan cair yang didapatkan di udara. Bentuknya seperti debu, asap, kotoran, jelaga, atau logam, dalam bentuk aerosol yang melayang-layang di udara. PM 2,5 adalah polutan udara yang berukuran sangat kecil, sekitar 2,5 mikron (mikrometer). Ukuran itu lebih kecil dari tiga persen ukuran rambut manusia. PM 10, berdiameter 10 mikron atau kurang.
WHO setiap tahun merilis laporan kualitas udara di berbagai belahan negara dunia. Dasar pengukurannya adalah konsentrasi PM dan nitrogen dioksida. Standar kualitas udara untuk PM 2,5 adalah lima mikrogram per meter kubik. Di sisi lain, ambang batas NO2 adalah sepuluh mikrogram per meter kubik.
Dampak polutan sering kali tidak dirasakan secara langsung (“the silent killer”). Akibatnya masyarakat menjadi kurang waspada. Dalam jangka pendek, khususnya PM 10, berkaitan dengan penyakit saluran nafas. Serangan asma akut dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), bisa menjadi konsekuensinya. PM 2,5 bisa memicu timbulnya penyakit jantung, paru dan saluran nafas (bronkitis). Paparan dalam jangka panjang, berpotensi menyebabkan kematian prematur, penyakit kardiovaskuler, stroke, serta beberapa jenis kanker (terutama kanker paru).
Baca juga: Perspektif Resistansi Anti Mikroba, Akankah Picu Pandemi “Senyap”?
Dampak kemacetan lalulintas
Selain efek polutan, kemacetan lalulintas bisa berdampak langsung pada sisi kejiwaan individu yang terimbas. Stres, frustrasi, rasa lelah, dan kantuk, memicu mudah amarah, atau menjadi kurang toleran terhadap pengendara lainnya. Tidak jarang banyak pengemudi yang kurang sabar, sehingga cenderung lebih agresif. Disiplin berlalulintas pun, sering kali diabaikan/dilanggar. Situasi demikian, berisiko memantik terjadinya KLL. Kemacetan bisa pula mengakibatkan sakit kepala, nyeri leher-punggung, bahkan kram pada kaki.
Sulitnya mendapatkan toilet pada saat kemacetan, berdampak buruk pada saluran kencing dan saluran cerna. Risiko mengalami infeksi saluran kemih menjadi meningkat karenanya, terutama pada individu lansia.
KLL juga bisa diakibatkan oleh pengemudi yang kurang konsentrasi. Penyebabnya antara lain penggunaan ponsel, atau dalam pengaruh antihistamin, alkohol, dan zat psikoaktif.
Pertolongan medis di tengah kemacetan lalulintas, tidak selalu mudah. Diperlukan saling pengertian antar pengendara, apabila di antara mereka mengalami kendala medis atau kedaruratan lainnya. Segera menghubungi “call center” tertentu menjadi pilihan utama, untuk mendapatkan bantuan medis. Masalahnya jalur macet tidak mudah ditembus oleh ambulans. Kecepatan dan ketepatan pertolongan medis, sangat signifikan dalam menekan dampak morbiditas dan mortalitas.
—000—
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan