

Ketergantungan kehidupan manusia sehari-hari terhadap plastik, sudah tidak diragukan lagi. Hampir semua kemasan makanan menggunakan unsur plastik. Khususnya bagi ibu rumah tangga, tas “kresek” sudah menjadi teman setia yang praktis, saat berbelanja kebutuhan sayur mayur dan keperluan rumah tangga lainnya. Demikian pula botol kemasan air mineral dan minuman lainnya, hampir semuanya terbuat dari bahan plastik.
Selama pandemi Covid-19, alat pelindung diri (APD) telah berjasa besar memproteksi manusia dari paparan virus Corona. Tapi kini sampah APD yang komponennya terbuat dari bahan plastik, memicu “epidemi” baru.Sekitar 15-20 persen volume total sampah di sepanjang muara sungai, disumbangkan dari APD tersebut. Secara keseluruhan, sungai menjadi tempat pembuangan lebih dari 50 persen sampah plastik.“Derita” lingkungan masih terus berlanjut hingga ke laut. Bahan plastik merupakan bagian terbesar (60-80 persen) sampah yang ada di laut. Sebanyak 90 persen sampah yang mengapung di lautan, mengandung material plastik. Akibatnya mayoritas fauna dan biota laut, telah terpapar dan terkena dampak toksiknya.
Pada tahun 2022, Indonesia menghasilkan sekitar 68,5 juta ton sampah. Sebanyak 18,5 persennya berupa sampah plastik. Dengan jumlah penduduk keempat terbanyak di dunia, negara kita menduduki peringkat kelima sebagai negara penghasil sampah terbesar.Data itu mengacu pada Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(LHK). Kerumitan tersebut, masih harus bertambah lagi dengan persoalan impor sampah plastik. Pada tahun yang sama, sebanyak 194 ribu ton sampah plastik dari mancanegara, memasuki bumi Indonesia. Negara kita termasuk salah satu pengimpor sampah plastik terbesar di dunia. Semua realitas itu sungguh-sungguh merupakan bahaya nyata bagi kelestarian ekologi dan kesehatan masyarakat Indonesia!
Mengutip survei Ecoton (Ecological Observationand Wetlands Conservation), sebanyak 68 sungai di tanah air telah tercemar dengan mikroplastik (MP). Sungai Brantas, Ciliwung, Bengawan Solo,dan Citarum, disebut-sebut sebagai sungai paling tercemar. Limbah domestik, industri (terutama tekstil dan daur ulang plastik-kertas),serta peternakan, merupakan kontributor utamanya. Limpahan sampah MP, tidak lepas dari buruknya tata kelola timbunan sampah plastik di daratan. Padahal sungai-sungai tersebut memiliki peran vital sebagai air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Ancaman bahaya terhadap status kesehatan, diperparah dengan kenyataan bahwa aliran sungai itu penting bagi sumber irigasi pertanian. Diketahui 50 persen suplai pangan nasional, berasal dari rantai pasok produk agraria tersebut.
Mikroplastik
Dengan teknologi terkini, sampah plastik belum dapat diurai sepenuhnya. Secara alamiah senyawa dan struktur yang menyusun plastik tidak dapat terurai oleh mikroorganisme, karena tidak memiliki enzimnya. Plastik hanya bisa terdegradasi menghasilkan partikel MP yang tidak kasat mata. Ukurannya lebih kecil dari lima mm.Selanjutnya MP bisa mengalami degradasi menjadi partikel yang lebih kecil lagi, disebut dengan nanoplastik (NP). Paparan radiasi ultraviolet matahari, dapat mempercepat terbentuknya MP dan NP (foto degradasi). Pemanasan global yang terjadi saat ini, menjadi katalis meningkatnya risiko paparan polutan plastik di air maupun udara pada makhluk hidup. Di lautan, partikel mikroitu menyerupai plankton, sehingga menjadi santapan fauna akuatik. Manusia sebagai puncak rantai makanan, pada gilirannya semakin banyak terpapar oleh akumulasi polutan tersebut.
Pada dasarnya plastik dirancang untuk memudahkan kehidupan manusia.Tetapi di sisi lain telah menjadi bahaya nyata bagi kelestarian lingkungan dan makhluk hidup di bumi. Secara ekonomi, rendahnya biaya produksi plastik tidak pararel dengan tingginya biaya daur ulang atau pembuangan limbahnya. Hingga kini hanya ada tiga cara pengelolaan limbah plastik. Pertama, “dimusnahkan” dengan proses insinerasi yang bisa menghasilkan energi listrik atau panas. Tetapi biaya ekonominya sangat tinggi, serta berpotensi meningkatkan polusi udara. Kedua, melalui proses daur ulang. Ketiga, membuangnya langsung ke tempat sampah. Diperkirakan sebanyak 80 persen volume sampah dunia, dihasilkan melalui skenario yang ketiga itu.
Riset tentang efek toksik MP dan NP bagi kesehatan manusia, kini sedang intensif diteliti para ahli. Disinyalir berdampak buruk pada berbagai faalorgan manusia.Antara lain berisiko tinggi sebagai karsinogen (pemicu kanker) dan peradangan saluran cerna. Organ/faal tubuh lainnya yang bisa terganggu, antara lain pada sistem endokrin/hormon, fungsi imunitas, sistem reproduksi, hingga penyakit kardiovaskuler, serta dapat mempercepat degenerasi sel-sel susunan saraf pusat.
Peran Indonesia dalam World Water Forum (WWF)
Sebagai tuan rumah WWF ke-10di Bali tanggal 18-25 Mei 2024, diharapkan negara kita dapat berperan penting. Pada prinsipnya mustahil bisa menghilangkan polutan plastik dari muka bumi. Namun demikian, tindakan terpenting adalah mengendalikannya semaksimal mungkin. Hampir semua negara di dunia sudah memiliki regulasinya. Misalnya di Amerika Serikat, diterbitkan aturan yang melarang pembuatan, pengemasan, dan distribusi produk kosmetik bilas yang mengandung partikel plastik. Di sisi lain mereka mendorong penggunaan produk alternatif pengganti plastik yang dapat diurai secara alami. Inggris telah menjalankan aturan yang menghilangkan penggunaan plastik sekali pakai. Tiongkok telah mengatur tempat-tempat pembuangan sampah plastik dan melarang pembuangannya ke sungai, waduk, ataupun danau.
Di dalam negeri pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi. Antara lain adalah Undang-UndangNomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Regulasi tersebut diperkuat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 81 Tahun 2012, tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Di sisi lain PP Nomor 27 Tahun 2020, mengatur tentang pengelolaan sampah spesifik. Semua regulasi tersebut bertujuan menetapkan target nasional pengurangan sampah sebanyak 30 persen pada tahun 2025. Harapannya pada akhir tahun 2029,dapat menghentikan secara bertahap beberapa jenis plastik sekali pakai.
Di tengah rumitnya pengelolaan sampah domestik, aktivitas ekspor-impor sampah plastik harusnya menjadi poin penting kajian WWF. Itu mencerminkan ketidakadilan lingkungan. Dampaknya menyebabkan negara penerima menanggung risiko pemburukan ekologi, kemerosotan ekonomi, ketimpangan sosial, dan kesehatan rakyatnya.
Selain misi meningkatkan pariwisata, forum tersebut harus mampu memperoleh solusi dalam menghadapi masalah air, termasuk isu-isu global terkait air, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan pembangunan berkelanjutan.
—–o—–
*Penulis :
Staf pengajar senior di:
Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
Anggota Advisory Board Dengue Vaccine
Penulis buku:
* Serial Kajian COVID-19 (sebanyak tiga seri)
* Serba-serbi Obrolan Medis
Tinggalkan Balasan