
Tasikmalaya, Jabar (Trigger.id) – Di sebuah sudut Kecamatan Sukaraja, Jawa Barat, terdapat seorang maestro yang telah mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan seni batik khas Sukapura. Namanya Ibu Fatonah, seorang wanita yang dengan penuh ketekunan dan kecintaan mendalam, terus menghidupkan warisan leluhur dalam setiap helai kain yang ia goreskan dengan canting. Seni batik bagi beliau bukan hanya sekadar karya estetis, melainkan wujud pengabdian pada budaya, sejarah, dan filosofi yang sarat makna.
Lahir dan besar dalam lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai tradisional, kecintaan Ibu Fatonah pada batik mulai tumbuh sejak usia belia. Di masa kecilnya, ia sering duduk di samping neneknya yang merupakan seorang pembatik. Setiap helai kain yang tercipta menyimpan kisah masa lalu dan doa-doa penuh harapan. Melalui tangan sang nenek, Ibu Fatonah belajar bahwa batik bukan sekadar kain bermotif, tetapi juga cerminan kehidupan dan pengingat akan pentingnya menjaga tradisi.
Ketika memasuki usia dewasa, Ibu Fatonah memilih untuk memperdalam keterampilan membatiknya. Ia tidak hanya menguasai teknik, tetapi juga memahami filosofi di balik setiap motif. Motif-motif khas Sukapura seperti “Bunga Tanjung Bersemi” dan “Daun Surga” menjadi identitas kuat yang selalu ia bawa dalam setiap karyanya. Motif-motif ini mengisahkan harmoni kehidupan manusia dengan alam, nilai-nilai kebersamaan, serta doa-doa untuk keberkahan.
Menghidupkan Filosofi dalam Setiap Motif
Bagi Ibu Fatonah, setiap motif yang dihasilkan memiliki makna tersendiri. Dalam motif “Bunga Tanjung Bersemi,” misalnya, terkandung pesan tentang ketekunan dan harapan baru yang selalu muncul meski menghadapi berbagai tantangan hidup. Sementara itu, “Daun Surga” menjadi lambang keselarasan antara manusia dan Sang Pencipta, serta pengingat akan pentingnya menjaga hubungan dengan alam.
Selain itu, Ibu Fatonah juga menciptakan motif-motif baru yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari di Sukaraja. Ia sering kali mengajak para pembatik muda untuk menggali kisah-kisah lokal dan menuangkannya dalam karya mereka. Dengan begitu, batik Sukapura terus berkembang tanpa meninggalkan akarnya.
Ketenangan dalam Seni Canting
Tak hanya menciptakan karya yang indah, Ibu Fatonah juga menemukan kedamaian dalam setiap tarikan canting yang ia goreskan. Baginya, proses membatik adalah meditasi. Setiap tetesan malam yang mengalir di atas kain adalah bentuk pengabdian dan rasa syukur. Ketika ujung canting menyentuh kain, Ibu Fatonah merasa seolah berbicara dengan masa lalu dan mewariskan pesan-pesan penuh cinta kepada generasi yang akan datang.
“Batik ini adalah jiwaku,” tutur Ibu Fatonah dengan senyum hangat. “Setiap helai kain membawa cerita, doa, dan harapan. Ketika saya membatik, saya merasakan kehadiran leluhur dan kebersamaan dengan alam sekitar.”
Ibu Fatonah tidak ingin seni batik khas Sukapura berhenti pada dirinya. Dengan penuh semangat, ia mengajak generasi muda untuk mencintai dan melestarikan batik. Melalui berbagai pelatihan yang ia adakan di sanggar batiknya, Ibu Fatonah mengajarkan teknik membatik tradisional, filosofi di balik setiap motif, serta nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam proses tersebut.
“Membatik bukan hanya soal keterampilan tangan, tetapi juga soal keterampilan hati,” katanya kepada para muridnya. “Cintai apa yang kalian kerjakan, dan hasilnya akan berbicara dengan sendirinya.”
Berbagai penghargaan telah diraih oleh Ibu Fatonah berkat dedikasinya yang luar biasa. Namun, baginya penghargaan terbesar adalah ketika melihat generasi muda mulai mencintai dan meneruskan tradisi batik Sukapura.
Harapan untuk Masa Depan
Dalam usianya yang kini tak lagi muda, Ibu Fatonah tetap memegang canting dengan penuh semangat. Harapannya sederhana namun bermakna: agar batik Sukapura terus hidup dan dihargai sebagai warisan yang berharga. Ia bermimpi suatu hari nanti, batik Sukapura tidak hanya dikenal di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara sebagai simbol keindahan budaya dan kekayaan filosofi lokal.
Melalui setiap helai kain yang ia hasilkan, Ibu Fatonah terus merajut kisah, budaya, dan harapan. Ia adalah sosok inspiratif yang mengajarkan kita semua bagaimana mencintai dan merawat karya budaya dengan sepenuh hati. Dalam setiap tarikan cantingnya, ada pesan yang abadi: bahwa seni tradisional, jika dirawat dengan cinta dan ketulusan, akan selalu hidup dan berbicara lintas generasi.
Tinggalkan Balasan