Bioskop tahun 1900 ini hanya menyuguhkan film bisu alias tidak berbicara. Judul filmnya pun hanya satu, yakni Sri Baginda Maharatu Belanda Bersama Pangeran Hendrick Memasuki Ibu Kota Belanda Den Haag.
Oleh: Isa Anshori (Pemred Trigger.id)
Kapan terakhir kali Anda nonton film di bioskop misbar?. Kenangan unik apa yang pernah Anda lihat dan rasakan?. Bicara bioskop misbar (gerimis bubar), rasanya tak cukup hanya sekadar bernostalgia tanpa memahami bagaimana pergulatan insan perfilman saat itu.
Mengutip laman berkeluarga.id, sejarah panjang bioskop di Indonesia dimulai dari bioskop pertama di dalam sebuah rumah, bukan gedung seperti yang saat ini kita lihat. Bioskop pertama ini terletak di Jalan Tanah Abang 1, Kebon Jahe, Jakarta Pusat. Bioskop ini didirikan pada bulan Desember tahun 1900. Saat itu harga tiketnya sebesar 2 Gulden untuk kelas 1, dan setengah gulden untuk kelas 2. Harga ini cukup mahal lho, karena 1 Gulden di masa itu setara dengan 10 kg beras.
Bioskop tahun 1900 ini hanya menyuguhkan film bisu alias tidak berbicara. Judul filmnya pun hanya satu, yakni Sri Baginda Maharatu Belanda Bersama Pangeran Hendrick Memasuki Ibu Kota Belanda Den Haag. Film ini hanya berwarna hitam putih dan diiringi musik sepanjang film berlangsung. Musiknya juga cenderung tidak nyambung dengan alur film.
Tahun 1901 berdiri bioskop pertama di kawasan Gambir. Bangunannya masih sederhana dengan dinding terbuat dari gedek (bambu) dan beratap seng. Bangunan ini bukanlah bangunan permanen, karena saat itu film akan diputar berkeliling ke kota-kota lain. Bioskop ini biasa dikenal dengan Talbot, yang sebenarnya adalah nama dari pemiliknya.
Pada tahun 1903 mulai muncul banyak bioskop. Biasanya pemutaran filmnya dilakukan di lapangan terbuka, sehngga disebut misbar alias gerimis bubar. Beberapa wilayah menyebut bioskop ini dengan sebutan layar tancep.
Tahun 1970 hingga 1980-an masih sering kita temui bioskop misbar, orang Surabaya dan sekitarnya bilang biskop misbar (gerimis bubar). Tanpa gedung, tanpa AC dan tentu tanpa tiket ber-barcode. Semuanya dikelola secara tradisional, dan saking tradisionalnya sehingga tak ada jaminan tontonan bisa tergelar hingga tuntas.
Kenapa tak ada jaminan bisa tuntas?. Karena jika cuaca tak mendukung (hujan) bisa dipastikan langsung bubar dan para penonton tanpa dikomando juga bubar dengan sendirinya.
Namun di beberapa daerah, bioskop misbar tak selalu bubar manakala gerimis atau hujan. Pertunjukan tetap berlangsung karena penonton sudah siap dengan payung atau jas hujan seadanya, sementara proyektor sudah dijamin aman karena ada tobong yang melindungi. Seru ya, nonton bioskop di tengah gerimis atau hujan.
Biasanya bioskop misbar berlangsung di sekitar pasar malam dadakan. Pengelola bioskop misbar ikut keliling menyesuaikan pengelola pasar malam. Mereka biasanya menggelar pertunjukan di lapangan terbuka milik desa atau kecamatan. Nonton film tidak melulu di bioskop yang mewah. Hiburan itu juga bisa dinikmati secara sederhana lewat bioskop misbar.
Seiring berjalannya waktu, ternyata bioskop misbar tak kehilangan pamornya. Misalnya di Taman Utsman Janatin City Park Purbalingga, bioskop misbar justru difasilitasi pemerintah daerah dan pembukaanya justru dihadiri dan diresmikan oleh Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf, Hari Santosa Sungkari.
Salah satu yang mendorong bioskop misbar tetap berkembang yakni adanya CLC (Cinema Lovers Community – red). Keberadaan bioskop misbar bisa mendorong partisipasi masyarakat untuk berkreasi dan mengurangi peredaran informasi yang berisi hoaks dan kebencian.
Misbar tidak hanya dikelola oleh komunitas film, akan tetapi juga komunitas kreatif lainnya. Semua komunitas kreatif bisa berkarya melalui misbar. Masyarakat turut mengapresiasinya sebagai bagian dari upaya melestarikan seni budaya lokal.
Bioskop misbar jangan sampai punah. Minimal sebagai tetenger sejarah perkembangan perfilman di Indonesia. Sisi lain, keberadaan bioskop misbar dengan segala cerita uniknya, bisa dirasakan generasi saat ini yang mulai sibuk dengan gadget-nya. Keresahan mulai timbul, ketika orang tua menyadari keberadaan anak-anak mereka yang acuh dan terkadang asosial.
Tinggalkan Balasan