“Selama terjadinya pandemi Covid-19, pemberitaan tentang bahaya HIV/AIDS seolah tenggelam. Padahal kasusnya cenderung berfluktuatif, bahkan meningkat di Indonesia.”
Oleh: Ari Baskoro , dr, SpPD,K-AI. (Divisi Alergi-Imunologi Klinik Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo-Surabaya)
Setiap tanggal 1 Desember, identik dengan banyak beredarnya pita merah, simbol warna darah. Logo berbentuk lengkungan yang melambangkan jantung-hati, menjadi ikon peringatan hari HIV/AIDS sedunia.
Human Immunodeficiency Virus(HIV), merupakan penyakit infeksi yang dapat ditularkan melalui kontak darah/cairan tubuh. Hubungan seksual berisiko tinggi, merupakan cara penularan yang terbanyak. Setelah mengalami fase laten yang bisa berlangsung hingga 13 tahun, selanjutnyamemasukitahapAcquiredImmunodeficiencySyndrome(AIDS). Pada tingkatan ini, tubuh telah kehilangan imunitasnya.Dampaknya, paparan mikroba apa pun akan bisa berakibat fatal, bahkan kematian. Dengan kata lain, AIDS merupakan stadium akhir HIV.
Selama terjadinya pandemi Covid-19, pemberitaan tentang bahaya HIV/AIDS seolah tenggelam. Padahal kasusnya cenderung berfluktuatif, bahkan meningkat di Indonesia. Banyak pihak berharap, ditutupnya lokalisasi prostitusi akan berefek domino pada meredanya kasus HIV/AIDS. Pencanangan gerakan nasional bebas lokalisasi prostitusi, ditargetkan tercapai pada tahun 2019. Tetapi program Kementerian Sosial ini,mengalami banyak kendala. Saat itu tercatat sebanyak 161 lokalisasi di seluruh Indonesia. Jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang terlibat di dalamnya mencapai 64.435 orang. Mereka “terpaksa” menjalani profesinya, mayoritas karena desakan faktor ekonomi. Ditunjang masalah tingkat pendidikan dan bekal ketrampilan yang rendah, semakin menyulitkan PSK beralih profesi. Diperlukan keterlibatan banyak pihak, agar mereka bisa lebih mandiri secara ekonomi. Kegagalan program pengentasan PSK, dapat memantik terjadinya prostitusi terselubung. Saat ini media sosialberperan besar sebagai sarana prostitusi online/daring.Fenomenanyasemakin tampak jelas , pada saat pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian masyarakat.Dampaknya, pengendalian dan pemantauan ODHA (orang dengan HIV/AIDS), akan semakin menemui banyak kendala.
HIV/AIDS di Indonesia
Sepanjang tahun 2020 bersamaan dengan pandemi Covid-19, terjadi lonjakan kasus yang cukup mengagetkan. Sebanyak 50.626 kasusbaru,terdeteksi sebagai ODHA. Malangnya, ada 67 anak di bawah 18 bulan yangjuga tertular. Laporan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (DitJen P2P Kemenkes) RImenyatakan, jumlah kumulatif ODHA hingga 31 Desember 2020 mencapai 549.291 kasus. Diperkirakan angka kematiannya mencapai 38 ribu jiwa.
Hingga Juni 2022,tercatat sebanyak 519.158 ODHA di Indonesia. Mereka tersebar di seluruh provinsi. Peringkat pertama adalah DKI Jakarta. Total ODHA di ibu kota negara kita tersebut, nyaris tembus 100 ribu jiwa. Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan Bali, mengekor di belakangnya. Beberapa provinsi lainnya juga merekam peningkatan kasus dalam jumlah yang cukup signifikan. Menurut UNICEF (United NationsChildren’sFund ), saat ini tercatat sekitar 640 ribu ODHA di Indonesia. Jumlah itu tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Sebenarnya jumlah kasus yang dilaporkan tersebut, tidak bisa tepatmenggambarkan kondisi riil di masyarakat. Sepertifenomena gunung es, jumlah yang tercatat merupakan puncaknya yang tampak dari permukaan laut. Bisa jadi yang berada di bawah permukaan laut, merupakan kasus yang tidak terdeteksi dengan jumlah cukup banyak. Kasus-kasus yang demikian ini , berpotensi besar sebagai mata rantai penyebaran HIV/AIDS. Masalah yang mendasar adalah,individu pembawa virus HIVbaru menampakkan gejala klinissetelah memakan waktu yang cukup lama. Bahkan hingga belasan tahun.
Ada pergeseran pola ODHA di Indonesia. Periode 1987 hingga 1999 yang merupakan dekade pertama HIV/AIDS, mayoritas kasus terjadi pada komunitas homoseksual. Mereka lebih dikenal dengan sebutan lelaki seks lelaki (LSL). Setelah kurun waktu tersebut, hingga tahun 2007, kebanyakan kasus terjadi pada pengguna narkoba suntik (Penasun).Saat ini sebagian besar kasus, justru bergeser pada golongan heteroseksual. Disinyalir, ODHA lelaki tertular melalui aktivitas seksualnya via prostitusi terselubung. Media sosial/daring menjadi alatperantaranya.Penularan selanjutnya bisaterjadi pada pasangannya /istrinya. Dampaknya, anak-anak yang dilahirkannya juga berisiko tinggi terpapar virus mematikan tersebut.
Persoalan inilah yang kini menjadi perhatian utama UNICEF. Organisasi di bawah naungan PBB(Perserikatan Bangsa-Bangsa) ini, bergerak dalam bidang bantuan kemanusiaan dan perkembangan kesejahteraan jangka panjang, kepada anak-anak dan ibunya. Terutama ditujukanuntuk negara-negara berkembang.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 1.188 anak Indonesia positif HIV tahun 2022. Padahal data tersebut baru diperoleh pada periode Januari-Juni 2022 saja.Terbanyak kelompok usia 15-19 tahun. Bayi di bawah empat tahun, didapatkan sebanyak 274 kasus. Selanjutnya sejumlah 173 kasus, terdeteksi pada usia 5-14 tahun. Lebih dari 90 persen kasus, ditularkan secara vertikal dari ibunya.Penularan pada remaja, sungguh memprihatinkan. Umumnya mereka terpapar melalui narkoba suntik dan seks bebas, terutama LSL. Menurut Kemenkes, sebanyak 12.533 anak di bawah 14 tahun, terinfeksi HIVsejaktahun 2010 hingga September 2022.
Tema hari HIV/AIDS sedunia, Let’sEqualize, LeaveNoWomenandChildBehind, sungguh tepat mengena dengan situasi di negara kita. Terutama menjelang peringatan hari ibu, 22 Desember 2022. Perempuan dan anak seharusnya jadi prioritas, untuk mengakhiri epidemi HIV. Mereka harus setara/mempunyai hak yang sama, untuk mendapatkan pengobatandengan ARV (antiretroviral).
Prostitusi daring
Indonesia termasuk dalam lima negara destinasi wisata seks terpopuler di dunia.Hal ini membuktikan,bahwa praktik prostitusi di Indonesia masih menjamur. Koordinator Nasional Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengungkapkan, bahwa estimasi jumlah PSK perempuan mencapai kisaran 230 ribu orang pada tahun 2019(Solopos, Agregasi, 22 Desember 2021).
PSK banyak memanfaatkan media daring, berdasarkan dua pertimbangan utama. Faktor ekonomi dan keamanan. Transaksi prostitusi secara daring, dapat memotong mata rantai muncikari yang sangat dominan dalam praktik prostitusi konvensional. Aspek “keamanan”juga relatif lebih terjamin. Identitasnya bisa disamarkan atau dengan membuat akun palsu. Selain itu, media daring juga relatif mudah digunakan dan berdaya jangkau luas.
Penutupan lokalisasi tidak selalu identik dengan menghilangkan prostitusi. Imbasnya, HIV/AIDS menjadilebih sulituntuk diberantas. Namun upaya terstruktur maksimal dan berkesinambungan, harus tetap digencarkan. Saat ini edukasi untuk menghindari aktivitas seksual berisiko, merupakan pilar utama. Ada baiknya kita belajar dari Thailand dan Vietnam yang telah sukses besar menekan angka HIV di negaranya masing-masing.Mereka membuktikan,penggunaan kondom merupakan sarana penting pencegahan.
Tinggalkan Balasan