

Kaum Hawa ingin selalu tampil cantik. Itu naluriah yang merupakan hukum alam. Di sisi lain, kodrat lelaki lebih suka melihat perempuan cantik. Wajar saja. Ada unsur insting dan alamiah. Interaksi keduanya bersifat universal. Padahal kriteria cantik bersifat subyektif dan unik. Tidak bisa disamaratakan. Antara satu negara, berbeda dengan negara lainnya. Demikian pula suatu daerah, bisa berbeda dengan daerah lainnya. “Standarnya” banyak dipengaruhi unsur budaya dan tren yang terjadi saat itu.
Setidaknya survei ZAP Beauty Index 2024, bisa memberi jawaban. Perempuan Indonesia disebut cantik, bila memiliki wajah mulus, glowing, serta berpenampilan modis dan rapi. Kriteria tersebut dipilih sebanyak 63,4 persen responden. Meski trennya mulai menurun, produk pemutih dan pencerah wajah masih sangat diminati dan banyak dicari. Produk-produk tersebut dapat berupa krim, salep, sabun, kapsul/pil, dan suntikan.
Peluang bisnis perawatan kulit itulah yang kini banyak dimanfaatkan orang-orang tertentu. Peredaran produk-produk perawatan kulit yang ternyata juga mulai diminati kaum Adam, gencar ditertibkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sebanyak lebih dari 50 produk kosmetik ilegal, baik lokal maupun impor, mengandung beberapa macam komponen berbahaya. Cukup mudah untuk memperolehnya, terutama secara online. Legalitasnya melanggar Pasal 435 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023. Isinya tentang sangsi pidana dan denda, terhadap produksi dan peredaran sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/keamanan/kasiat. Nilai ekonomi produk impor ilegal yang diamankan mencapai Rp.11,4 miliar. Capaian itu merupakan contoh hasil operasi penindakan, selama periode Juni hingga September 2024.
Latar belakang
Ada suatu peribahasa dalam budaya Asia Timur yang mengilustrasikan kecantikan ideal bagi sosok perempuan berkulit putih. “Kulit putih cukup kuat untuk menyembunyikan tujuh kekurangan”. Khususnya di Korea Selatan, kaum Hawa kini sedang tren menginginkan kulit bagaikan “kaca”. Istilah itu menggambarkan kulit dengan warna merata bak kaca bening.
Budaya India memengaruhi seorang perempuan akrab dengan produk-produk pencerah kulit. Narasinya adalah soal keadilan. Warna kulit mencerminkan perbedaan antar kasta. Kasta tertinggi (Brahmin), dideskripsikan dengan kemurnian, status elite, dan warna kulit yang cerah. Sebaliknya kasta yang terendah (Dalit/”tak tersentuh”), ditafsirkan dengan warna kulit yang gelap dan “penganiayaan sosial”. Konteks diskriminasi berbasis kasta, sejatinya telah dilarang di India. Namun demikian, realitas tersebut masih berlangsung terus di masyarakat dalam beberapa kasus.
Di Malaysia, mayoritas perempuan berharap memiliki kulit yang lebih terang, sehat, dan tampak lebih muda. Bila tercapai, bisa memberikan harga diri yang lebih tinggi.
Bagi mayoritas perempuan, motivasi utama menginginkan kulit yang putih dan cerah adalah menjadi jauh lebih cantik. Kulit yang baik, dinarasikan sebagai halus dan putih. Sebaliknya kulit yang buruk digambarkan sebagai kulit yang kering, gelap, dan berkerut. Di banyak negara (terutama negara-negara Afrika), fenomena “cantik” tersebut memudahkan akses menuju peluang karier/pekerjaan yang lebih baik. Ada tujuan lain, misalnya ingin mencapai status sosial dan finansial yang lebih tinggi. Hal itu berkorelasi dengan kesempatan mendapatkan jodoh dan lingkungan kehidupan yang lebih baik.
Ada beberapa riset yang hasilnya bisa dibilang unik. Perempuan berkulit cerah, akan mendapatkan perlakuan yang lebih baik. Itu mencerminkan suatu realitas yang memprihatinkan dan berimplikasi pada persoalan rasial.
Budaya pop dan penampilan para selebriti, berperan penting mengubah imajinasi seorang perempuan. Apalagi bila didukung oleh pemberitaan media. Para pesohor yang bertindak sebagai duta kecantikan, sering kali secara terbuka mendukung iklan produk pencerah kulit. Fenomena tersebut tampak jelas pada artis-artis papan atas Hollywood dan Bollywood. Kini di negara-negara Asia, tren idola kecantikan seorang perempuan mengacu pada artis-artis Korea atau Jepang.
Bahaya efek samping
Produk kosmetik ilegal pencerah dan pemutih kulit, biasanya mengandung senyawa yang berbahaya bagi kesehatan. Contohnya adalah hidrokuinon, steroid kelas I (klobetasol, betametason), merkuri, glutation, retinoid/tretinoin, dan berbagai unsur pewarna. Pada umumnya senyawa tersebut menargetkan melanin sebagai pigmen pembawa warna kulit. Dengan terhambatnya aktivitas melanin, warna kulit seseorang akan tampak lebih putih.
Efek samping penggunaan produk kosmetik ilegal, bisa bersifat superfisial/lokal, maupun sistemis pada beberapa organ tubuh. Khususnya merkuri, bila terakumulasi dapat memantik gejala akut seperti radang paru dan iritasi lambung. Tidak jarang pula memicu terjadinya gagal ginjal dan penyakit saraf. Dalam derajat tertentu yang “lebih ringan”, bisa mengakibatkan insomnia, mudah lupa, dan gampang tersinggung.
Bila terserap melalui kulit, hidrokuinon menyebabkan toksisitas pada ginjal dan memicu terjadinya kanker darah/leukemia. Bisa pula memicu berkembangnya okronosis (pigmentasi biru kehitaman atau abu-abu), katarak, dan radang serta kanker kulit.
Cantik tidak harus berkulit putih cerah. Jadilah sosok cantik dengan merasa bangga dan nyaman menjadi dirinya sendiri.
—–o—–
*Penulis:
- Staf pengajar senior di Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam FK Unair/RSUD Dr. Soetomo – Surabaya
- Magister Ilmu Kesehatan Olahraga (IKESOR) Unair
- Penulis buku:
– Serial Kajian COVID-19 (tiga seri)
– Serba-serbi Obrolan Medis
– Catatan Harian Seorang Dokter
Tinggalkan Balasan