
Washington, D.C. (Trigger.id) — Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menegaskan bahwa kebijakan tarif yang ia dorong bertujuan untuk memulihkan dominasi manufaktur AS. Ia kerap memuji perusahaan-perusahaan yang berkomitmen mengembalikan produksi ke tanah Amerika. Namun, para pengamat mempertanyakan apakah dalam jangka panjang negara lain dan perusahaan global masih akan melihat Amerika sebagai tempat investasi yang stabil.
Sejak Trump mulai menjabat pada 20 Januari, banyak pihak mencatat bahwa AS telah bergeser dari posisi sebagai mitra dagang yang dapat diandalkan menuju sumber ketidakpastian global. Pernyataan Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menjadi sorotan ketika ia mengatakan, “Barat seperti yang kita kenal, sudah tidak ada lagi.”
Ekonomi AS memang masih terbesar di dunia dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mendekati 30 triliun dolar. Namun, China dan Uni Eropa tidak bisa diremehkan. China memiliki PDB sekitar 18 triliun dolar, sedangkan ekonomi kolektif Uni Eropa bernilai sekitar 19 triliun dolar.
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Ngozi Okonjo-Iweala, menyampaikan bahwa 87% perdagangan global terjadi di luar AS. “Kami memiliki 166 anggota. Perdagangan AS hanya 13% dari total dunia,” ujarnya dalam wawancara dengan CNN.
Meski Trump berulang kali menuduh negara lain telah merugikan AS, kenyataannya ekonomi AS telah tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir. Saat ini, pemerintah Trump telah menerapkan tarif sebesar 25% untuk baja dan aluminium, tarif hingga 145% untuk barang dari China, serta 10% tarif dasar untuk semua barang impor.
Namun, perubahan kebijakan yang begitu cepat—tarif diterapkan, dibatalkan, lalu diberlakukan kembali—telah menciptakan ketidakpastian tinggi di kalangan pelaku bisnis dan negara mitra dagang.
Lembaga pemeringkat Moody’s menyatakan bahwa kebijakan tarif ini kemungkinan besar akan memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Sementara itu, Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, menyebut langkah Trump sebagai perubahan kebijakan yang sangat mendasar, bahkan belum pernah terjadi dalam sejarah modern. Komentar Powell ini memicu penurunan di pasar saham AS, mencerminkan kegelisahan investor terhadap arah ekonomi global.
Dampak dari kebijakan ini telah dirasakan oleh berbagai pihak, mulai dari perusahaan teknologi seperti Nvidia, hingga konsumen yang biasa berbelanja produk murah dari platform seperti Temu dan Shein. Sementara itu, China telah memperluas kerja sama dagangnya ke luar AS, termasuk mempererat hubungan dengan Uni Eropa.
Menurut data resmi China, ekspor ke AS telah turun dari 19,2% pada 2018 menjadi 14,7% pada 2024. Bahkan, beberapa negara seperti Kanada, Meksiko, dan India kini lebih condong mempererat hubungan dagang dengan Eropa.
Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, menekankan pentingnya memperkuat aliansi ekonomi dengan Eropa di tengah ketidakpastian global. Ursula von der Leyen menegaskan bahwa negara-negara kini mencari mitra yang dapat diandalkan—dan Eropa, dengan reputasinya akan kestabilan dan kepastian, kembali menjadi magnet baru.
Presiden Bank Sentral Eropa, Christine Lagarde, menyebut momen ini sebagai peluang bagi Eropa untuk mengambil kendali atas nasibnya sendiri. “Saya melihat ini sebagai langkah menuju kemandirian,” ujarnya dalam wawancara radio di Prancis. (bin)
Tinggalkan Balasan